MENCIUM DAN MENGUSAP KUBURAN

.
MENCIUM DAN MENGUSAP KUBURAN
.
Di antara bid’ah yang buruk, tapi banyak dilakukan oleh umat Islam adalah mengusap dan mencium kuburan.
.
Imam al-Munaawi rohimahullah (lhr, 952 H/1545 M) berkata, Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda -:
.
كنت نهيتكم عن زيارة القبور. لحدثان عهدكم بالكفر وأما الآن حيث انمحت آثار الجاهلية واستحكم الإسلام وصرتم أهل يقين وتقوى (فزوروا القبور) أي بشرط أن لا يقترن بذلك تمسح بالقبر أو تقبيل أو سجود عليه أو نحو ذلك فإنه كما قال السبكي بدعة منكرة إنما يفعلها الجهال
.
“Aku pernah melarang kalian dari ziaroh kuburan”, karena kalian baru saja meninggalkan kekufuran. Adapun sekarang ketika telah hilang sisa-sisa jahiliyah dan telah kokoh Islam dan jadilah kalian orang-orang yang yakin dan takwa (maka ziarahilah kuburan), yaitu dengan syarat tidak disertai dengan mengusap kuburan atau mencium kuburan atau sujud di atasnya atau yang semisalnya, karena hal itu – sebagaimana perkataan As-Subkiy – adalah bid’ah yang mungkar, hanyalah orang-orang jahil (bodoh) yang melakukannya”. (Faidhul Qodiir 5/55, lihat juga At-Taisiir bi syarh Al-Jaami’ As-Shoghiir, 2/439).
.
.


MENGIRIM PAHALA BACA’AN AL-QUR’AN KEPADA MAYAT

MENGIRIM PAHALA BACA’AN AL-QUR’AN KEPADA MAYAT

Masyhuur dari madzhab Imam Asy-Syafii bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca qur’an bagi mayat.

Imam An-Nawawi berkata : “Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi’i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur’an maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi’i adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…” (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90).

______

SABAR DALAM DAKWAH KETIKA MENDAPATKAN CACIAN

.
SABAR DALAM DAKWAH KETIKA MENDAPATKAN CACIAN
.
Mendakwahkan Al-Hak, menyeru manusia untuk kembali kepada ajaran yang datangnya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, memperingatkan umat untuk meninggalkan segala macam tahayul, bid’ah dan kesyirikan, sudah menjadi sunnatullah apabila mendapatkan caci-maki dari orang-orang yang merasa terusik keyakinannya. Bukankah para Nabi dan Rasul berikut para Sahabatnya pada masa lalu juga mendapatkan cacian dan makian setiap harinya.
.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, pernah datang seorang laki-laki menemui Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, tiba-tiba lelaki tersebut mencaci-maki sahabat Nabi yang mulia tersebut.
.
Rasulullah salallaahu ‘alaihi wassalam yang saat itu tengah duduk di sampingnya tampak terheran-heran sambil tersenyum melihat Abu Bakar diam saja. Namun ketika kata makian semakin banyak dan Abu Bakar pun meladeninya, maka Rasulullah bangkit dengan wajah tidak suka dengan sikap Abu Bakar tersebut.
.
Beliau berdiri dan Abu Bakar mengikutinya.
.
Lalu Abu Bakar bertanya, “Ya Rasulullah, tadi dia mencaci makiku namun engkau tetap duduk. Tapi ketika kuladeni sebagian kata-katanya, engkau marah dan berdiri. Mengapa demikian ya Rasulullah ?”. Tanya Abu Bakar.
.
Rasulullah salallaahu ‘alaihi wassalam pun menjawab, “Sesungguhnya bersamamu ada malaikat, kemudian dia berpaling daripadamu. Ketika engkau meladeni perkataannya, datanglah syaitan dan aku tidak sudi duduk bersama syaitan itu”. Jawab Rasulullah.
.
Kemudian Rasulullah salallaahu ‘alaihi wassalam meneruskan nasihatnya : “Tidak teraniaya seseorang karena penganiayaan yang ia sabar memikulnya kecuali Allah akan menambahkan kepadanya kemuliaan dan kebesaran”. (Hr. Imam Ahmad dari Abu Kabsyah Al Anmari).
.
Nasihat Rasulullah salallaahu ‘alaihi wassalam kepada Abu Bakar di atas harus kita terapkan dalam sikap kita ketika menghadapi caci maki orang-orang yang tidak mau menerima dan memusuhi seruan kita. Tidak perlu caci maki mereka kita balas dengan caci maki pula. Karena tindakan tersebut akan menjadikan setan senang dengan yang kita lakukan.
.
Sabar ketika mendapatkan sikap kebencian dalam menyeru manusia untuk berjalan di atas jalan yang benar adalah sikap yang tepat. Bukankah segala sesuatu yang terjadi sudah Allah Ta’ala tetapkan. Seorang mukmin harus lapang dada dan ridha ketika menghadapi kejadian (musibah) yang menimpanya, karena hal itu merupakan ujian dari Allah Ta’ala, sejauh mana dia bersabar. Sehingga Allah Ta’ala mencintainya dan memberikan balasan pahala atas kesabarannya.
.
Allah ta’ala berfirman :
.
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
.
“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar”. (Qs. Ali Imran, 146).
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
.
“Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”. (Qs. An-Nahl: 96).
.
Selain dicintai Allah Ta’ala dan mendapatkan pahala, orang yang sabar juga akan mendapatkan ampunan.
.
Allah ta’ala berfirman :
.
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
.
“Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana) dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itu mendapatkan ampunan dan pahala yang besar”. (Qs. Hud: 11).
.
Dan di atas semua itu, orang yang sabar akan mendapatkan Surga ‘Adn.
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
.
“Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu, maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu (Surga Adn)”. (Qs. Ar-Ra’d: 24).
.
Semoga kita bisa semakin bersabar dalam menyeru manusia untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni, ajaran yang tidak mengandung kebatilan yang dibuat-buat oleh para penyesat umat, Karena besarnya pahala yang akan kita dapatkan.
.
❁ MENELADANI IMAM SYAFI’I KETIKA MENGHADAPI ORANG BODOH
.
Imam Syafi’i adalah seorang Ulama besar yang banyak melakukan dialog dan pandai dalam berdebat dalam permas’alahan agama.
.
Sampai-sampai Harun bin Sa’id berkata : “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”. (Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 109 oleh Ibnu Abdil Hadi).
.
Imam Syafi’i adalah seorang Ulama pembela sunnah, sehingga tentu saja pada waktu itu banyak orang sesat yang memusuhinya, karena cela’an Imam Syafi’i terhadap kesesatan mereka.
.
Berikut perkata’an Imam Syafi’i terhadap mereka.
.
Imam Syafi’i berkata :
.
يُخَاطِبُنِي السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ
.
Orang jahil berbicara kepadaku dengan segenap kejelekan
.
فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبًا
.
Akupun enggan untuk menjawabnya
.
يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حُلْمًا
.
Dia semakin bertambah kejahilan dan aku semakin bertambah kesabaran
.
كَعُوْدٍ زَادَهُ الْإِحْرَاقُ طِيْبًا
.
“Seperti gaharu dibakar, akan semakin menebar kewangian”. (Diwân Imam Asy-Syâfi’iy).
.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek. Maka aku tidak ingin untuk menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).
.
Imam Syafi’i juga berkata : ”Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban. Bukanlah artinya aku tidak mempunyai jawaban, tetapi tidak pantas bagi singa meladeni anjing”.
.
Itulah sikap dari Imam Syafi’i ketika menghadapi orang-orang sesat yang memusuhinya. Semoga kita bisa meneladaninya. Aamiin.
.
Semoga bermanfa’at.
.
Alhamdulilllah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
.
با رك الله فيكم
.
Penulis : Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏Mąŋţяί
.
.
Kunjungi blog pribadi di : https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah
.
.
_____

AHLUS SUNNAH BERHUJJAH DENGAN KITABULLAH, SUNNAH NABI DAN SUNNAH PARA SAHABAT

AHLUS SUNNAH BERHUJJAH DENGAN KITABULLAH, SUNNAH NABI DAN SUNNAH PARA SAHABAT

Agama ini telah tegak pada masa-masa yang lalu, sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, era sahabat dan para tabi’in. Apa yang menjadi agama pada masa itu, maka pada sekarang ini hal tersebut juga merupakan bagian dari agama.

Dan jika pada zaman mereka ada satu hal yang bukan dari agama, maka sekarang ini, hal tersebut juga bukan termasuk dari agama yang dicintai dan diridhai Allah.

Agama ini adalah Kitab Allah, dan Kitab Allah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat Rasulullah. Ini semua dicintai dan diridhai Allah.

Begitulah yang difahami Imam Syafi’i dan ulama lainnya.

(Suatu waktu), Imam Syafi’i datang ke Masjidil Haram di Mekkah untuk menunaikkan ibadah haji. Beliau duduk dan berkata kepada orang-orang yang ada : “Tanyakanlah kepadaku. Tidak ada orang yang bertanya tentang sesuatu kepadaku, kecuali aku akan menjawabnya dengan Kitabullah”.

Maka ada orang awam berdiri dan bertanya : “Wahai, imam. Ketika aku masuk Masjidil Haram, aku menginjak dan membunuh satu serangga. Padahal orang yang dalam keadaan ihram tidak boleh membunuh sesuatu. Akan tetapi, aku telah membunuh seekor serangga. Apa jawabannya dari Kitabullah ?”.

Setelah memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Imam Syafi’i berkata, Allah berfirman : “Apa-apa yang telah diperintahkan Rasul, maka haruslah kalian mengambilnya”. (QS. Al Hasyr: 8). Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

“Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk”. (HR. Abu Daud).

Dan diantara Khulafaur Rasyidin adalah Umar bin Khaththab. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat bahwa ada seseorang bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang seseorang yang membunuh seekor serangga dalam keadaan ihram. Maka Umar menjawab, ”Tidak ada denda (sangsi) apa pun atas kamu”.

Maka Imam Syafi’i berkata : “Jawabanku dari Kitabullah, wahai orang yang berbuat (seperti) itu, sesungguhnya engkau tidak mendapat sangsi apapun. Itulah jawaban dari kitab Allah.”

(Dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman di Universitas Islam Negeri Malang, pada tanggal 7 Desember 2004).

________

TAMBAHAN KATA DHOLALAH (SESAT), BERARTI TIDAK SEMUA BID’AH SESAT

TAMBAHAN KATA DHOLALAH (SESAT), BERARTI TIDAK SEMUA BID’AH SESAT

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;

إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لاَ تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)

“Ketahuilah, barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah mati sepeninggalku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa melakukan bid’ah dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).

Mereka berkata ;

Andaikata semua bid’ah itu sesat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata : “Barangsiapa mengadakan sebuah bid’ah” tanpa harus menambahkan kata ‘dholalah’ dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut bid’ah dholalah (yang sesat), maka logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah (tidak sesat)).

Bantahan :

Al ‘Allaamah Al Muhaddits Abdurrahman Al Mubarakfury dalam penjelasannya terhadap hadits di atas mengatakan (mengutip ucapan Shiddiq Hasan Khan) ; “Penulis kitab Mirqaatul Mafaatieh mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membatasi bid’ah disini dengan bid’ah yang dholalah untuk mengecuali-kan bid’ah hasanah”.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh penulis kitab Asyi’atul Lama’aat dengan menambahkan ; “Karena bid’ah hasanah mengandung kemaslahatan bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya (di masyarakat)”. Saya katakan ; “Kedua pendapat tersebut salah besar ! Karena Allah dan Rasul-Nya tak pernah meridhai bid’ah, apa pun bentuknya. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengecualikan bid’ah hasanah, niscaya beliau tidak akan menjelaskan dalam haditsnya bahwa : “Semua bid’ah itu sesat…” atau : “Semua hal yang baru itu bid’ah, dan semua yang sesat itu di neraka…” sebagaimana yang tersebut dalam salah satu riwayat. Ucapan beliau tadi pada dasarnya bukanlah qaid (pembatas) akan bid’ah. Namun merupakan bentuk pengkabaran beliau dalam mengingkari segala macam bid’ah, dan menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalil yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah : { وَرَهْبَانِيَّةً اِبْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ } yang maknanya : “…Dan mereka mengada-adakan bid’ah rahbaniyyah (kependeta’an) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka…”. (Al Hadid: 27).

Lihat, bagaimana Allah menyifati bid’ah kependetaan tadi dengan kata-kata: ‘padahal kami tidak mewajibkannya atas mereka’. Maknanya cukup jelas, bahwa bid’ah mereka adalah sama sekali tidak Allah perintahkan, karena jika Allah perintahkan tidak akan menjadi bid’ah.

Adapun prasangka bahwa bid’ah itu ada kemaslahatannya bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya, bantahannya ialah firman Allah Ta’ala : { إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ } yang artinya : “Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa” (Al Hujurat: 12).

Saya tidak habis pikir, apa maknanya ayat ; “Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa”, dan ayat : “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku cukupkan bagimu nikmat Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al Ma’idah: 3), Kalaulah maslahat yang dimaksud ialah melariskan bid’ah..!?, Ya Allah, alangkah anehnya pendapat semacam ini… Adakah mereka tidak tahu bahwa dengan menyemarak-kan bid’ah berarti mematikan sunnah ? Dan dengan mematikan bid’ah berarti menghidupkan sunnah ?? Sungguh demi Allah, agama Islam itu lengkap, sempurna, dan tak kurang sedikit pun. Ia tak butuh sedikit pun terhadap bid’ah sebagai pelengkap. Nash-nash (dalil-dalil) yang dikandungnya cukup banyak dan meliputi setiap perkara atau problematika baru yang akan muncul hingga hari kiamat”.

Demikian sanggahan beliau dalam kitabnya Ad-Dienul Khalish secara ringkas.

Abdurrahman Al Mubarakfury rahimahullah berkata ; “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ) diriwayatkan dengan idhafah, yaitu dibaca : Bid’ata dhalalatin, atau bisa juga dengan manshub (بِدْعَةً ضَلاَلَةً) dibaca : Bid’atan dhalalatan sebagai sifah wa mausuf.

Jadi, ‘Dholalah’ merupakan sifat bagi bid’ah tersebut. Sedangkan kata sifat ini termasuk sifatun kaasyifah (sifat yang menyingkap hakekat sesuatu), bukan sifatun muqayyidah yang mengecualikan bid’ah hasanah (dari bid’ah yang menyesatkan). Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya yang berbunyi : (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) “Semua bid’ah itu sesat” (H.R. Abu Dawud, dari ‘Irbadh bin Sariyah).

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُولَهُ) “Tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya”, merupakan sifatun kaasyifah yang kedua bagi bid’ah tadi. (Lihat : Tuhfatul Ahwadzi Bisyarh Jaami’ At Tirmidzi karya Al Mubarakfury, syarah hadits no 2601).

Lebih dari itu, hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya. Meski At Tirmidzi menganggapnya hasan, dan beliau memang terkenal gampang menghasankan hadits, namun salah satu perawi hadits ini ialah Katsier bin Abdillah bin Amru bin ‘Auf Al Muzani.

Berikut ini nukilkan sanad hadits diatas selengkapnya ;

Imam At Tirmidzi rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ … الحديث (جامع الترمذي, كتاب العلم, باب: ما جاء في الأخذ بالسنة واجتناب البدع, حديث رقم 2601).

Abdullah bin Abdirrahman mengabarkan kepada kami, katanya, Muhammad bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Mirwan bin Mu’awiyah Al Fazary, dari Katsir bin ‘Abdillah, yaitu : bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany, dari Ayahnya, dari Kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ibnul Harits :…. Al hadits”. (H.R. Tirmidzi, no 2601).

Cacat hadits ini ialah pada silsilah rawi yang bercetak tebal di atas. Untuk lebih jelasnya, berikut nukilkan komentar para ahli hadits mengenai riwayat mereka :

1. Al Imam Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan :

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني: يروي عن أبيه عن جده، روى عنه مروان بن معاوية وإسماعيل بن أبى أويس، منكر الحديث جدا، يروي عن أبيه عن جده نسخة موضوعة لا يحل ذكرها في الكتب ولا الرواية عنه (كتاب المجروحين 2/221).

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany, Ia meriwayatkan dari Ayahnya dari kakeknya. Sedang yang meriwayatkan dari Katsir ialah Marwan bin Mu’awiyah dan Isma’il bin Abi Uwais. (Katsir ini) munkarul hadits jiddan [16]). Ia meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sekumpulan hadits maudhu’ (palsu) yang tidak halal untuk disebutkan dalam kitab-kitab dan tidak halal untuk diriwayatkan. (Kitabul Majruhien 2/221).

[16] Keduanya merupakan jarhun syadied (kritikan pedas), yang menjatuhkan hadits orang itu ke tingkat dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan maudhu’ (palsu).

2. Imam An Nasa’i rahimahullah berkata :

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف: متروك الحديث (الكامل لابن عدي 6 / 58).

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf ; matruukul hadits. (Al Kamil, oleh Ibnu ‘Adiy 6/58).

3. Imam Syafi’i dan Abu Dawud rahimahumallah menyifatinya dengan kata-kata :

ركن من أركان الكذب (ميزان الاعتدال 3 / 407)

Salah satu tiang daripada tiang-tiang kedusta’an. (Mizanul I’tidal, 3/407). [Maksudnya ia salah seorang pembohong besar].

4. Ibnu Hajar Al ‘Asqalany rahimahullah berkata :

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني المدني ضعيف أفرط من نسبه إلى الكذب (تقريب التهذيب – 2 / 39)

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany Al Madany : “Dha’if”, namun orang yang menuduhnya sebagai pendusta agak berlebihan. (Taqribut Tahdzieb, 2/39).

Kesimpulannya, hadits di atas derajatnya dha’if jiddan atau minimal dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmdzi, hadits no 2677.

Penulis : Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Artikel ; http://www.muslim.or.id

https://agussantosa39.wordpress.com/category/1-bidah/%e2%80%a2-memahami-bidah/

_______________________

TAMBAHAN KATA YANG BUKAN DARINYA, BERARTI TIDAK SEMUA BID’AH TERTOLAK

TAMBAHAN KATA YANG BUKAN DARINYA, BERARTI TIDAK SEMUA BID’AH TERTOLAK

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، وفي لفظ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
(رواه مسلم)

“Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kami, yang bukan berasal darinya (agama), maka ia tertolak”. (H.R. Muslim, hadits no 1718).

Mereka mengatakan :

Penambahan kalimat ‘yang bukan darinya’ (agama), merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru berarti tertolak dan sesat. Hanya yang baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang tertolak dan sesat. Andaikata semua hal baru adalah sesat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menambahkan kalimat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata ; “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini, maka ia tertolak”, tetapi hal ini tidak beliau katakan.

Kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bantahannya ;

1. Al Jurjani mengatakan : “Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i”. (At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani).

Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa yang namanya bid’ah itu harus menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak selaras dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan Sunnah). Berangkat dari sini, perkataan bahwa jika sesuatu yang baru (bid’ah) itu bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya, adalah kesalahan fatal yang ujung-ujungnya menyamakan antara bid’ah dengan syari’at itu sendiri, sebab menurutnya keduanya berasal dari Al Qur’an dan hadits, dan ini jelas batil.

2. Kata-kata ‘yang bukan berasal darinya (agama)’ dalam hadits di atas bukanlah sifat yang membatasi, akan tetapi sifat yang menyingkap bahwa semua bid’ah hakikatnya bukanlah berasal dari agama. Karena bila sesuatu itu berasal dari Al Qur’an dan Hadits maka hal tersbut telah ada sejak adanya Islam itu sendiri, dan bukan dianggap baru. Jelas sekali bahwa perkata’an ini mengandung kontradiksi yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang berakal, apalagi seorang Rasul yang paling fasih berbahasa Arab dan menerima wahyu dari Allah Ta’ala.

Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

https://agussantosa39.wordpress.com/category/1-bidah/%e2%80%a2-memahami-bidah/

___________