HUKUM BERMUAMALAH DAN SHALAT DI BELAKANG AHLI BID’AH

HUKUM BERMUAMALAH DAN SHALAT DI BELAKANG AHLI BID’AH

• Bermu’amalh dengan ahli bid’ah

Larangan duduk-duduk (bermajlis / bergaul) bukan berarti terlarang bermuamalah dengan ahli bid’ah, selama muamalahnya tidak mengandung kebid’ahan.

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafidzahullah ditanya :

السؤال: الجار الذي هو من أهل البدع وقد تكون بدعته مكفرة، كيف أتعامل معه؟

Bagaimana cara saya bermuamalah dengan tetangga yang termasuk ahli bid’ah dan bisa jadi bid’ahnya mukaffirah (mengeluarkan dari islam) ?

Syaikh hafidzahullah menjawab :

الجواب: تعامل معه بدعوته والحرص على إنقاذه، وكما تعامل الكافر الذي هو كافر أصلي أيضاً تعامله،

”Bermuamalah dengannya dengan cara mendakwahinya dan sangat berharap dia bisa terbebas dari bid’ahnya. Sebagaimana engkau boleh bermuamalah dengan orang kafir tulen maka engkau juga boleh bermuamalah dengannya”.

وإذا كان هجرك إياه يفيده فافعل، لكن في الغالب أن الجيران لا يؤثر هجرهم، إنما الذي يؤثر مثل هجر الوالد للولد، وهجر الشيخ للتلميذ وغيرهم ممن قد يؤثر فيهم الهجر،

”Dan jika hajr-mu kepadanya bermanfa’at maka lakukanlah. Akan tetapi, pada umumnya hajr ini tidak memberi pengaruh kepada tetangga. Hajr yang memberi pengaruh adalah seperti hajr-nya orang tua kepada anak-nya, hajr seorang guru kepada muridnya dan yang semisalnya, yaitu orang yang memang berpengaruh jika melakukan hajr”.

وأما قضية الجيران فكون الإنسان يبقى على صلة به ويحرص على هدايته خير من أن يهجره ويبتعد عنه.

”Adapun masalah dengan tetangga maka hendaknya seseorang itu tetap menyambung hubungan dengannya dan bersemangat untuk menunjukkan kebaikan kepadanya dari pada melakukan hajr dan menjauhinya”.

Sumber : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=170612#170615

Diterjemahkan oleh Ustadz Didik Suyadi.

• Shalat dibelakang ahli bid’ah

Ahlus Sunnah menganggap shalat berjama’ah di belakang imam, baik yang shalih maupun yang fasik dari kaum Muslimin adalah sah. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka. (Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 529) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki).

Disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma pernah shalat dengan bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. (Shahiihul Bukhari Shahiihul Bukhari (no. 1660, 1662, 1663).

Padahal al-Hajjaj adalah orang yang fasik dan bengis. Dia seorang amir yang zhalim, menjadi amir di Irak selama 20 tahun, dan dialah yang membunuh ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awam di Makkah. (Lihat Taqriibut Tahdziib (I/190, no. 1144) dan Tahdziibut Tahdziib (II/184-186), oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma adalah seorang Sahabat yang sangat hati-hati dalam menjaga dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan al-Hajjaj bin Yusuf adalah orang yang terkenal paling fasik. Demikian juga yang pernah dilakukan Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu yang bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Begitu juga yang pernah dilakukan oleh beberapa Sahabat Radhiyallahu anhum, yaitu shalat di belakang al-Walid bin Abi Mu’aith. (Lihat Shahiih Muslim (no. 1707).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

يُصَلُّوْنَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ.

“Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.” (HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537).

Imam Hasan al-Bashri (wafat th.110 H) rahimahullah pernah ditanya tentang boleh atau tidaknya shalat di belakang ahlul bid’ah, beliau menjawab : “Shalatlah di belakangnya dan ia yang menanggung dosa bid’ahnya.” Imam al-Bukhari memberikan bab tentang perkataan Hasan al-Bashri dalam Shahiihnya (bab Imamatul Maftuun wal Mubtadi’ dalam Kitaabul Aadzaan).

Ketahuilah bahwasanya seseorang boleh shalat bermakmum kepada orang yang tidak dia ketahui bahwa ia memiliki kebid’ahan atau kefasikan berdasarkan kesepakatan para ulama.

Ahli bid’ah maupun pelaku maksiyat, pada asalnya shalatnya adalah sah. Apabila seseorang shalat bermakmum kepadanya, shalatnya tidak menjadi batal. Namun ada ulama yang menganggapnya makruh. Karena amar ma’ruf nahi munkar itu wajib hukumnya. Di antaranya bahwa orang yang menampakkan kebid’ahan dan kefasikannya, jangan sampai ia menjadi imam rutin (rawatib) bagi kaum Muslimin.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata : “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat kami telah berkata : ‘Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikian juga dimakruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari Islam). Tetapi bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari Islam, maka shalat di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir.’ Dan Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan dalam al-Mukhtashar bahwa makruh hukumnya shalat di belakang orang fasiq dan ahlu bid’ah, kalau dikerjakan juga, maka shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.” (Diringkas dari al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (IV/253) oleh Imam Nawawi, cet. Daarul Fikr).

• Menshalatkan ahlul bid’ah

Menshalatkan seorang Muslim yang meninggal dunia hukumnya fardhu kifayah, tetapi apabila seorang Muslim tersebut adalah ahlul bid’ah dan pelaku maksiyat, maka para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut pendapat jumhur ulama, dia boleh dishalatkan. Dalam hal ini dikecualikan para pemberontak, perampok, munafiq, dan orang yang mati bunuh diri. Sebagai pelajaran bagi yang lainnya, adapun orang munafiq, tidak boleh dishalatkan dengan dasar firman Allah al-Hakiim :

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [At-Taubah: 84] [7]

Sumber :
http://almanhaj.or.id/content/2026/slash/0/hukum-shalat-di-belakang-ahlul-bidah-hukum-shalat-tahiyyatul-masjid/

=================