BACA’AN I’TIDAL RIFAA’AH BIN ROOFI’

BACA’AN I’TIDAL RIFAA’AH BIN ROOFI’

Diantara hujjah yang dibawakan para pembela bid’ah, yaitu sebuah hadits berikut ini ;

Dari Rifaa’ah bin Roofi’, ia berkata :

كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ الرسول ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ ، قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ ، قَالَ : مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ قَالَ : أَنَا ، قَالَ : رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

“Suatu hari kami sholat dibelakang Rasulullah, maka tatkala beliau mengangkat kepala, beliau berkata, “Sami’allahu liman hamidahu”. Lalu ada seseorang di belakang beliau berkata, رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. Tatkala beliau selesai sholat maka beliau berkata, “Siapa tadi yang berbicara?”. Orang itu berkata, “Saya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku melihat tiga puluh sekian malaikat berlomba-lomba siapa yang pertama diantara mereka yang mencatatnya” (HR Al-Bukhari no 799)

Adapun perkataan Ibnu Hajar tentang hadits Rifaa’ah bin Roofi radhiallahu ‘anhu

وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ إْحَدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلاَةِ غَيْرِ مَأْثُوْرٍ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُوْرِ … وَعَلَى أَنَّ الْعَاطِسَ فِي الصَّلاَةِ يَحْمَدُ اللهَ بِغَيْرِ كَرَاهَةٍ وَأَنَّ الْمُتَلَبِّسَ بِالصَّلاَةِ لاَ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ

“Hadits ini dijadikan dalil akan boleh mengada-ngadakan dalam sholat suatu dzikir yang tidak ada ma’tsur (tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-pen) jika tidak menyelisihi dzikir yang ma’tsuur…serta bolehnya orang yang bersin memuji Allah, dan tidak makruh, dan orang yang sedang sholat tidak mesti menjawab orang yang bersin” (Fathul Baari 2/287).

Dalam pernyata’an di atas bukan berarti Al-Hafiz memandang bolehnya berbuat bid’ah hasanah secara bebas. Akan tetapi beliau menyebutkan permasalahannya secara khusus, yaitu bolehnya berkreasi dzikir dalam sholat jika tidak bertentangan dengan dzikir yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentunya Ibnu Hajar tidak membolehkan kreasi dzikir dalam seluruh kondisi sholat, tentunya beliau (Ibnu Hajar), bahkan tidak seorang ulamapun yang membolehkan bebas berkreasi dalam menciptakan dzikir-dzikir tatkala doa iftitah, ruku’, tatkala sujud, tatkala duduk diantara dua sujud, dan tatkala tasyahhud.

Akan tetapi sebagian ulama membolehkan kreasi dzikir atau doa dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti tatkala berdoa dalam sujud, atau tatkala doa setelah tasyahhud dan sebelum salam (silahkan lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmuu’ 3/469, lihat juga Asnaa Al-Mathoolib 1/166).

Demikian juga dzikir tatkala i’tidal (bangkit dari ruku’), sebagian ulama menyatakan bahwa tatkala i’tidal merupakan maqom (kondisi) untuk mengagungkan Allah, karenanya tidak mengapa memuji Allah dengan dzikir kreasi sendiri selama tidak menjadi kebiasaan.

Terlebih lagi, ternyata Ibnu Hajar membawakan kisah Rif’ah tersebut pada kisah bersinnya (lihat Fathul Baari 2/286), sebagaimana sangat jelas dalam riwayat yang lain (HR Abu Dawud no 773 dan At-Thirmidzi no 404), sehingga dzikir yang disebutkan oleh Rifa’ah adalah dzikir bersin yang kebetulan ia ucapkan tatkala i’tidal.

Al-Imam An-Nawawi membolehkan dzikir bersin dengan beberapa bentuk pujian kepada Allah.

Al-Imam An-Nawawi berkata ;

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْعَاطِسِ أَنْ يَقُوْلَ عَقِبَ عِطَاسِهِ : الْحَمْدُ للهِ ، فَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ كَانَ أَحْسَنَ ، وَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ كَانَ أَفْضَلَ

“Para ulama telah sepakat bahwasanya disunnahkan bagi orang yang bersin setelah bersin mengucapkan “Alhamdulillah”. Jika dia mengucapkan “Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin” maka lebih baik. Dan jika ia mengucapkan “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” maka lebih afdol” (Al-Adzkaar 270).

Akan tetapi Ibnu Hajar berkata :

وَالَّذِي يَتَحَرَّرُ مِنَ الأَدِلَّةِ أَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مُجْزِئٌ لَكِنَ مَا كَانَ أَكْثَرَ ثَنَاءً أَفْضَلُ بِشَرْطِ أَنْ يَكُوْنَ مَأْثُوْرًا

“Dan yang tersimpulkan dari dalil-dalil bahwasanya segala bentuk dzikir (setelah bersin) tersebut cukup, akan tetapi yang lebih banyak pujiannya lebih afdol, dengan syarat dzikir tersebut ma’tsuur (ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)” (Fathul Baari 10/601).

Dalam nukilan ini jelas, Ibnu Hajar menyatakan, bahwa segala bentuk dzikir setelah bersin boleh dengan syarat harus ma’tsuur.

Maksud dari pemaparan ini, sama saja apakah dzikir yang tersebutkan dalam hadits Rif’ah adalah dzikir i’tidal atau dzikir bersin maka kalaupun bukan merupakan dzikir yang ma’tsur dan boleh berkreasi dalam dzikir ini maka hal ini hanya dalam cakupan yang terbatas.

Maka sungguh aneh jika lalu dijadikan dalil untuk membolehkan bid’ah hasanah…, membolehkan bekreasi membuat dzikir-dzikir baru dalam doa istiftah, dzikir ruku’, sujud, dll ??, bahkan membolehkan untuk berkreasi membuat model ibadah baru ??.

Tentunya pemahaman seperti itu tidak dipahami oleh para Ulama yang mu’tabar.

Wallahu A’lam bis showaab.

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/338-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam

https://agussantosa39.wordpress.com/category/1-bidah/%e2%80%a2-memahami-bidah/

=========================