YANG PENTING NIATNYA

YANG PENTING NIATNYA

Yang penting niatnya karena Allah, yang penting niatnya ikhlas, yang penting niatnya baik.

Begitulah kira-kira yang sering diucapkan orang awam.

Sebagai manusia yang berakal tentu kita menginginkan semua urusan yang kita lakukan didunia ini apakah urusan duniawi atau urusan ibadah tidak sia-sia. Beribadah kita berharap limpahan pahala, begitu pula urusan duniawi kita mengharapkan keuntungan bukan kerugian. Sungguh rugi apabila kita beribadah bukannya pahala yang kita dapatkan tapi malah laknat. Terlebih lagi untuk urusan ibadah itu kita berkorban meluangkan waktu tenaga bahkan disertai dengan keluarnya biaya.

Ibadah tidak cukup hanya niatnya karena Allah, niatnya ikhlas, niatnya baik. Akan tetapi juga harus sesuai dengan perintah Allah ta’ala dan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Ibadah akan diterima Allah ta’ala apabila terpenuhi dua syarat.

• DUA SYARAT DITERIMANYA IBADAH

Dua syarat diterimanya ibadah ini bukanlah suatu yang dibuat-buat oleh para Ulama semata-mata berdasar akal mereka, melainkan dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam firman-Nya di ayat terakhir surat Al Kahfi.

Allah ta’ala berfirman ;

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

“Katakanlah, Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya sesembahan kamu itu adalah sesembahan yang satu”. Barangsiapa mengharap perjumpa’an dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya“. (QS. Al Kahfi: 110).

Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan ;

“Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.”Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah hal. 57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir).

Dalil lainnya, Allah ‘azza wa jalla berfirman ;

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“(Allah-lah) yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya”. [QS Al Mulk: 2]

Fudhail bin ‘Iyaad rohimahullah seorang Tabi’in yang agung mengatakan ketika menafsirkan firman Allah, (yang artinya) “yang lebih baik amal ibadahnya” maksudnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar (paling mencocoki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Kemudian Beliau rohimahullah mengatakan ; “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Lihat Ma’alimut Tanziil (Tafsir Al Baghowi) oleh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud Al Baghowiy rohimahullah tahqiq Syaikh Muhammad Abdullah An Namr, terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh).

– Dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Adapun dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam untuk syarat pertama, adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalan Amirul Mu’minin Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang tergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya”. (HR. Al-Bukhari, 1/3 no. 1, Muslim 3/1515 no. 1907).

Dalil untuk syarat yang kedua adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari jalur Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallahu ‘anha,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan ; “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali”. (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77).

Ada riwayat masyhur, yaitu ada sekelompok orang yang berdzikir tapi mendapatkan teguran dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, karena dzikir mereka tidak sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Ketika ditegur Ibnu Mas’ud mereka beralasan,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”.

Perhatikan ucapan mereka, orang-orang yang ditegur itu berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu Ibnu Mas’ud membantah perkata’an mereka dan berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).

Kaseimpulannya : Ibadah tidak cukup hanya niat karena Allah, niatnya ikhlas, niatnya baik. Tapi ibadah akan mendapatkan balasan pahala apabila di samping ikhlas juga sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya.

Wassalam

Agus Santosa Somantri

https://agussantosa39.wordpress.com/category/1-bidah/%e2%80%a2-memahami-lafadz-sanna/

=========================