KETERASINGAN AHLU SUNNAH DI TENGAH-TENGAH MAYORITAS AHLI BID’AH
Hidup ditengah-tengah kebanyakan orang jahil dan ahli bid’ah memang tidak mudah. Ikut larut dengan mereka artinya menodai aqidah. menghindari tradisi dan acara-acara mereka akibatnya dikucilkan dan dicibir, jadi bahan gunjingan siang malam.
Tidak heran apabila ada sebagian orang yang sudah mengenal sunnah tapi masih ikut-ikutan acara-acara bid’ah. Alasannya karena tidak mau di kucilkan dilingkungannya. Memilih ridha manusia daripada ridha Allah, lebih khawatir dikucilkan dan dimusuhi manusia daripada dilaknat Allah.
Padahal telah berkata ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sabda Rasulullah,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسُخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ أَرْضَى عَنْهُ النَّاسِ وَ مَنِ الْتَمَسَ رِضَى النَّاسِ بِسُخْطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ.
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan kemurka’an manusia, maka Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia ridha kepadanya. Sedangkan orang yang mencari ridha manusia dengan kemurka’an Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia murka kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban, Mawaridh adh-Dham’an; 1542).
• Terasing ditengah-tengah manusia
Ketika kebanyakan manusia masih setia dengan tradisi-tradisi nenek moyangnya, terbiasa dengan acara-acara bid’ahnya. Yang semua itu mereka anggap sebagai ibadah. Lalu kemudian ada orang yang menyelisihinya tidak mengikuti mereka, jadilah terasing di tengah-tengah mereka.
Terasingnya ahlu sunnah sa’at ini, persis sebagaimana ketika terasingnya orang-orang yang menerima seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di awal-awal agama Islam disampaikan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَ ، فطُوبَى للغرباءِ
“Islam muncul dalam keada’an asing, dan akan kembali asing seperti sa’at kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. (HR. Muslim).
– Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
إِنَّ الإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قَالَ قِيلَ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ.
“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing. Seseorang bertanya : Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ? Mereka yang menyempal (berseberangan) dari kaumnya, jawab Rasulullah”. (HR. Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi).
– Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ «إِنَّ الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا وَيَرْجِعُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى
“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing. Seseorang bertanya : Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ?, Orang-orang yang selalu memperbaiki (melakukan ishlah) di saat manusia merusak sunnah-sunnah ku, jawab Rasulullah”. (HR. At Tirmidzi).
Al-Qari menafsirkan bahwa makna orang-orang yang asing adalah orang-orang yang memperbaiki [memulihkan] ajaran Nabi yang telah dirusak oleh manusia sesudahnya. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan melalui Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, demikian dinukilkan oleh al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi [6/427] as-Syamilah).
Al-Mubarakfuri menjelaskan makna ‘memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia’ yaitu : “Mereka mengamalkan ajaran / sunnah tersebut dan mereka menampakkannya sekuat kemampuan mereka.” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah).
Dikucilkan manusia memang menjadikan hidup tidak nyaman menyesakkan dada. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Maka beruntunglah orang-orang yang terasing”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira, Maka beruntunglah orang-orang yang terasing.
Kabar gembira dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut harus jadi motivasi untuk tetap teguh, tegar diatas sunnah tidak menjadi lemah menghadapi segala rintangan dan kecaman manusia. Tidak perlu futur apalagi mundur terlebih lagi sedikit demi sedikit kemudian kembali larut dengan acara-acara mereka.
• Jangan terpedaya dengan banyaknya jumlah manusia
Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Adabusy Syar’iyyah (I/263) : “Perlu diketahui, banyak perbuatan yang dilakukan oleh mayoritas manusia justru bertentangan dengan syariat. Lalu perbuatan itu menjadi populer di tengah-tengah mereka. Lalu banyak pula manusia yang mengikuti perbuatan mereka tersebut. Satu hal yang sudah jelas bagi seorang yang berilmu ialah menolak hal tersebut, baik diungkapkan lewat perkataan maupun perbuatan. Janganlah ia mundur karena merasa asing dan karena sedikitnya pendukung”.
Imam an Nawawi rahimahullah berkata : “Janganlah seorang manusia terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang melakukannya, yaitu orang-orang yang tidak mengindahkan adab-adab Islam. Ikutilah perkataan al Fadhl bin Iyadh, ia berkata : ˜Janganlah merasa asing dengan jalan hidayah karena sedikitnya orang yang melaluinya. Dan jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang sesat binasa”. (Ucapan ini dinukil oleh adz Dzahabi dalam kitab Tasyabbuhil Khasis, halaman 33).
Banyaknya jumlah manusia yang mengamalkan acara-acara atau amalan-amalan bid’ah, bagi ahlu sunnah tidak perlu silau dan menjadikan lemah sehingga kehilangan gairah untuk tetap tegar diatas sunnah.
Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah, Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. [Al Maidah : 100].
• Banyaknya jumlah manusia bukan patokan kebenaran
Banyaknya jumlah manusia pada kelompok tertentu jangan menjadikan tertipu dan terpesona.
Orang-orang jahiliah dahulu punya anggapan bahwa yang banyak itulah yang benar, adapun yang menyelisihinya yang jumlahnya sedikit maka itulah yang sesat.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata : “Di antara prinsip jahiliyyah, mereka percaya bahwa standar kebenaran adalah jika banyak yang menganutnya. Itulah yang jadi dalil pembenaran. Sedangkan kebatilan atau sesatnya sesuatu dilihat dari keterasingan dan pengikutnya yang sedikit. Ini lawan dari prinsip yang disebutkan di awal. Padahal prinsip semacam ini bertolak belakang dengan ajaran yang disebutkan dalam Al Quran.” (Syarh Masailil Jahiliyyah, hal. 38).
Bahkan Allah Ta’ala memperingatkan untuk tidak mengikuti kebanyakan manusia.
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am: 116).
Banyaknya jumlah manusia bukan parameter sebuah kebenaran. Al-haq adalah yang berdiri diatas tuntunan Allah dan Rasulnya, bukan ditakar dengan jumlah manusia. Bahkan banyaknya jumlah manusia ternyata bukan pengikut kebenaran malah justru sebaliknya.
Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan, justru manusia kebanyakan tidak beriman, menentang para Rasul, tidak punya pengetahuan, kufur dan sesat.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. [Yusuf:103].
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 187)
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (QS. Al A’raf: 102).
Dari ayat-ayat diatas maka jelaslah ternyata kebanyakan manusia di dunia ini justru bukanlah pengikut kebenaran. Dan di banyak ayat kita dapati bahwa pengikut kebenaran ternyata jumlahnya sedikit.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا آَمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. ” (QS. Hud: 40).
Allah Ta’ala berfirman :
إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini”. [Shad : 24].
Allah Ta’ala berfirman :
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih” [Saba’: 13].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan itu.
Dikucilkan dan terasing di tengah-tengah mayoritas ahli bid’ah, maka Ahlu Sunnah tidak perlu jadi kecil hati tapi justru harus bergembira karena mendapatkan kabar gembira dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Maka beruntunglah orang-orang yang terasing”.
بَارَكَ اللهُ فِيْكُم
Agus Santosa Somantri
https://agussantosa39.wordpress.com/category/1-bidah/%e2%80%a2-memahami-bidah/
=========================