AHLUS SUNNAH BERHUJJAH DENGAN KITABULLAH, SUNNAH NABI DAN SUNNAH PARA SAHABAT

AHLUS SUNNAH BERHUJJAH DENGAN KITABULLAH, SUNNAH NABI DAN SUNNAH PARA SAHABAT

Agama ini telah tegak pada masa-masa yang lalu, sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, era sahabat dan para tabi’in. Apa yang menjadi agama pada masa itu, maka pada sekarang ini hal tersebut juga merupakan bagian dari agama.

Dan jika pada zaman mereka ada satu hal yang bukan dari agama, maka sekarang ini, hal tersebut juga bukan termasuk dari agama yang dicintai dan diridhai Allah.

Agama ini adalah Kitab Allah, dan Kitab Allah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat Rasulullah. Ini semua dicintai dan diridhai Allah.

Begitulah yang difahami Imam Syafi’i dan ulama lainnya.

(Suatu waktu), Imam Syafi’i datang ke Masjidil Haram di Mekkah untuk menunaikkan ibadah haji. Beliau duduk dan berkata kepada orang-orang yang ada : “Tanyakanlah kepadaku. Tidak ada orang yang bertanya tentang sesuatu kepadaku, kecuali aku akan menjawabnya dengan Kitabullah”.

Maka ada orang awam berdiri dan bertanya : “Wahai, imam. Ketika aku masuk Masjidil Haram, aku menginjak dan membunuh satu serangga. Padahal orang yang dalam keadaan ihram tidak boleh membunuh sesuatu. Akan tetapi, aku telah membunuh seekor serangga. Apa jawabannya dari Kitabullah ?”.

Setelah memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Imam Syafi’i berkata, Allah berfirman : “Apa-apa yang telah diperintahkan Rasul, maka haruslah kalian mengambilnya”. (QS. Al Hasyr: 8). Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

“Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk”. (HR. Abu Daud).

Dan diantara Khulafaur Rasyidin adalah Umar bin Khaththab. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat bahwa ada seseorang bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang seseorang yang membunuh seekor serangga dalam keadaan ihram. Maka Umar menjawab, ”Tidak ada denda (sangsi) apa pun atas kamu”.

Maka Imam Syafi’i berkata : “Jawabanku dari Kitabullah, wahai orang yang berbuat (seperti) itu, sesungguhnya engkau tidak mendapat sangsi apapun. Itulah jawaban dari kitab Allah.”

(Dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman di Universitas Islam Negeri Malang, pada tanggal 7 Desember 2004).

________

BERSIKAP LEMAH LEMBUT TERHADAP SESAMA AHLI SUNNAH

BERSIKAP LEMAH LEMBUT TERHADAP SESAMA AHLI SUNNAH
.
Hasan al-Bashrî rahimahullåhu berkata :
.
يا أهل السنة ترفقوا رحمكم الله فإنكم من أقل الناس
.
“Wahai Ahlus Sunnah, bersikap lembutlah semoga Allåh merahmati kalian, karena sesungguhnya kalian adalah kaum yang paling minoritas”. (Syarh al-Ushůl karya al-Lålikă’î, I/63).
.
Sufyan ats-Tsaurî rahimahullåhu berkata :
.
استوصوا بأهل السنة خيراً فإنهم غرباء
.
“Saling berwasiatlah kalian dengan Ahlus sunnah karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang asing (ghurobå)”. (Syarh al-Ushůl, I/71).
.
Ayyub As-Sukhtiyånî rahimahullåhu berkata :
.
إني أخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائي
.
“Sesungguhnya aku diinformasikan tentang wafatnya seorang dari Ahlus Sunnah, maka saya merasa seakan-akan kehilangan salah satu anggota tubuhku”. (Syarh al-Ushůl, 1/66).
.
Imam Sufyan ats-Tsaurî pernah ditanya,
.
ما ماء العيش ؟
.
Apa itu air kehidupan ?
.
Imam Sufyan ats-Tsaurî menjawab :
.
لقاء الإخوان
.
‘Bertemu dengan saudara (Ahlus sunnah)”. (Raudhatul Uqolå wa Nuzhatul Fudholå, 93).
.
.
_____________________

MAKNA AS-SAWADUL A’ZHAM YANG SEBENARNYA

MAKNA AS-SAWADUL A’ZHAM YANG SEBENAR-NYA

As-Sawadul A’zham sering di artikan sebagai kelompok terbesar oleh sebagian pihak yang merasa pihaknya sebagai kelompok terbesar. Sehingga mereka pun merasa sebagai As-Sawadul A’zham

Apa arti As-Sawadul A’zham yang sebenarnya ?

• Arti As-Sawadul A’zham menurut bahasa

Menurut bahasa As sawad (plural/jamak) artinya sesuatu yang berwarna hitam. Al A’zham artinya besar, agung, banyak. Sehingga as sawaadul a’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak.

As-Sawadul A’zham menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.

• As-Sawadul A’zham menurut syari’at

Adapun yang di maksud As-Sawadul A’zham menurut pengertian syari’at ialah semakna dengan Al- Jama’ah.

Sebagaimana penjelasan Imam Ath Thabari : “…DAN MAKNA AL-JAMA’AH ADALAH AS-SAWADUL A’ZHAM. Kemudian Imam Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab : Hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37).

• Makna As-Sawadul A’zham menurut Sahabat Nabi.

Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata :

عليكم بالسواد الأعظم قال فقال رجل ما السواد الأعظم فنادى أبو أمامة هذه الآية التي في سورة النور فإن تولوا فإنما عليه ما حمل وعليكم ما حملتم

“Berpeganglah kepada As Sawadul A’zham. Lalu ada yang bertanya, siapa As Sawadul A’zham itu ? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur :

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220).

Ayat diatas selengkapnya berbunyi :

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Katakanlah (wahai Muhammad), “Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul, dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (QS. An-Nuur: 54).

Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna As Sawadul A’zham adalah : “ORANG-ORANG YANG TA’AT KEPADA ALLAH DAN RASULNYA”, atau dengan kata lain, “PENGIKUT KEBENARAN”

Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H) berkata :

عليكم باتباع السواد الأعظم قالوا له من السواد الأعظم، قال: هو الرجل العالم أو الرجلان المتمسكان بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وطريقته، وليس المراد به مطلق المسلمين، فمن كان مع هذين الرجلين أو الرجل وتبعه فهو الجماعة، ومن خالفه فقد خالف أهل الجماعة

“Berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Orang-orang bertanya, siapa as sawaadul a’zham itu ? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab : IA ADALAH SEORANG ATAU DUA ORANG YANG BERILMU, YANG BERPEGANG TEGUH PADA SUNNAH RASULULLAH Shallallahu ’alaihi Wasallam DAN MENGIKUTI JALANNYA. BUKANLAH AS-SAWADUL A’ZHAM ITU MAYORITAS KAUM MUSLIMIN SECARA MUTLAK. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54).

Dari penjelasan Muhammad bin Aslam di atas, kita mendapatkan keterangan bahwa, As-Sawadul A’zham dalam istilah syar’i itu “TIDAK HARUS BERJUMLAH BANYAK (MAYORITAS)”. Dan jelas juga ternyata As- Sawaadul A’zham adalah “AL-JAMA’AH” dan “BUKANLAH KEBANYAKAN ORANG SECARA MUTLAK”.

As Sawaadul A’zham adalah “ORANG-ORANG YANG TA’AT KEPADA ALLAH, dan MENGIKUTI SUNNAH NABI” Shallallahu ’alaihi Wasallam dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman para sahabat Nabi, “BAIK JUMLAH MEREKA BANYAK MAUPUN SEDIKIT”.

• Orang bodoh memaknai As-Sawadul A’zham ialah kebanyakan manusia (mayoritas).

Ishaq bin Rahawaih, guru dari Imam Al Bukhari, mengatakan bahwa hanya orang bodoh yang mengira bahwa As Sawaadul A’zham adalah mayoritas orang secara mutlak :

لَوْ سَأَلْتَ الْجُهَّالَ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالُوا: جَمَاعَةُ النَّاسِ وَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ الْجَمَاعَةَ عَالِمٌ مُتَمَسِّكٌ بِأَثَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَرِيقِهِ، فَمَنْ كَانَ مَعَهُ وَتَبِعَهُ فَهُوَ الْجَمَاعَةُ، وَمَنْ خَالَفَهُ فِيهِ تَرَكَ الْجَمَاعَةُ

“Jika engkau tanyakan kepada orang-orang bodoh siapa itu As Sawadul A’zham, NISCAYA MEREKA AKAN MENJAWAB, KEBANYAKAN MANUSIA (MAYORITAS). Mereka tidak tahu bahwa Al Jama’ah itu adalah orang alim yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam dan jalannya. Barangsiapa yang bersama orang alim tersebut dan mengikutinya, ialah Al Jama’ah, Dan yang menyelisihinya, ia meninggalkan Al Jama’ah” (Hilyatul Aulia, 9/238)

Kesimpulan :

As-Sawadul A’zham semakna dengan Al Jama’ah, yaitu sekumpulan orang yang berpegang teguh pada ajaran atau tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit.

Sangat keliru apabila As-Sawadul A’zham di maknai kebanyakan manusia (mayoritas), padahal kebanyakan manusia tersebut menyimpang dari tuntunan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak sesuai dengan pemahaman para Sahabat Nabi.

Apabila di suatu tempat atau wilayah kebanyakan (mayoritas) adalah ahli bid’ah, apakah mungkin As-Sawadul A’zham adalah ahli bid’ah ?

Bukankah As-Sawadul A’zham itu adalah ahlu sunnah, yang mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

بارك الله فيكم

Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί

https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/

===============

NAMA-NAMA AHLUS SUNNAH YANG SYAR’I

NAMA-NAMA AHLUS SUNNAH YANG SYAR’I

Ketika muncul berbagai kelompok bid’ah dan kesesatan, masing-masing menyeru kepada kelompoknya dalam keada’an mereka menisbatkan diri kepada Islam secara zhahir, maka ahlul haq, para pengikut jalan Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam dan para sahabat, perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat ini. Sehingga muncullah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar’i yang bersumber dari Islam.

Di antara nama-nama mereka adalah : Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Firqatun Najiyah, Tha’ifah Manshurah, dan Salaf.

Nama-nama ini tidak bertentangan dengan pembahasan diatas, bahwasanya Ahlus Sunnah tidak memiliki nama atau julukan selain Islam dan dilalahnya, karena nama-nama ini termasuk dilalah Islam.

Nama-nama Ahlus Sunnah ini sebagian darinya sabit dengan nash dari Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam dan sebagian yang lainnya didapatkan oleh mereka karena pengamalan mereka terhadap Islam dengan pengamalan yang shahih. Hal ini berbeda sekali dengan nama-nama ahli bid’ah dan julukan-julukan mereka, karena nama-nama ahli bid’ah ada kalanya merujuk kepada person seperti Jahmiyah nisbat kepada Jahm bin shafwan, Zaidiyah nisbat kepada Zaid bin Ali bin al-Husain, kullabiyah nisbat kepada Abdullah bin Kullab, Karramiyah nisbat kepada Muhammad bin Karram, dan Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari.

Ada kalanya merujuk kepada asal usul kebid’ahan mereka, seperti Rafidhah karena mereka (menolak) Zaid bin Ali atau menolak kekhilafahan Abu Bakr dan Umar, Qadariyah karena mereka menolak qadar (takdir), Murji’ah karena mereka (menangguhkan) amalan dari definisi iman, Khawarij karena mereka khuruj (keluar) dari keta’atan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dan Mu’tazilah karena mereka I’tizal (menjauhi) majelis Hasan al-Bashri.

Adapun dalil-dalil atas nama-nama Ahlus Sunnah maka akan kita jelaskan satu persatu :

1. Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Nama ini mengandung dua bagian : Ahlus Sunnah dan al-Jama’ah.

Adapun lafazh Ahlus Sunnah, yang dimaksud lafazh Sunnah disini adalah Islam secara keseluruhan sebagaimana dalam pembahasan definisi Sunnah secara istilah diatas, Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam telah memerintahkan setiap muslim agar berpegang teguh dengan Sunnah sebagaimana dalam sabdanya :

“Siapa yang hidup lama dari kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Dan awaslah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR.Ahmad 4/126, Darimi 1/57, Tirmidzi 5/44, Ibnu Majah 1/15, dan dishahihkan oleh syaikh al-albani dalam zhilalul Jannah hal. 26,34)

Hadits ini menjelaskan bahwa seorang muslim yang hakiki adalah seorang muslim yang menegakkan Sunnah dan bahwasanya setiap yang keluar dari Sunnah Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah bid’ah.

Al-Imam al-Barbahari berkata, “ketahuila, Islam adalah Sunnah, dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan mungkin tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya.” (Syarhus Sunnah hal.21)

Adapun lafazh al-Jama’ah datang dalam hadits Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam :

“Sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 kelompok –yaitu dalam ahwa’- semua di neraka kecuali satu yaitu al-Jama’ah. (HR.Ahmad 4/102, Darimi 2/314, Abu Dawud 4597, dan dishahihkan oleh syaikh al-albani dalam zhilalul Jannah hal.33)

2. Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat)

Nama ini diambil dari mafhum hadits iftiroqul ummah (perpecahan umat) diatas di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam menyebutkan bahwa semua firqah (kelompok) di neraka, kecuali satu yang masuk surga, kelompok ini dikatakan (selamat) dari neraka.

Yusuf bin Asbath berkata, “pokok-pokok kebid’ahan ada empat cabang : Rawafidh, khawarij, Qadariyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing bercabang menjadi 18 kelompok, itulah 72 kelompok. Dan kelompok yang ke-73 adalah al-Jama’ah yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alayhi wa salam bahwa dia adalah najiyah (selamat).” (Asy-Syari’ah oleh al-Ajuri hal.51)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika saja sifat Firqatun Najiyah adalah para pengikut jalan sahabat dan itu adalah syi’ar dari Ahlus Sunnah, maka Firqatun Najiyah adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah 3/457).

Nama Firqatun Najiyah bagi Ahlus Sunnah adalah nama yang masyhur di kalangan umat sampai-sampai ada sebagian ulama yang menjadikan sebagai judul kitab-kitab mereka yang memaparkan aqidah Ahlus Sunnah, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah wa Mujanabatul Firaqil Madzmumah, dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Kafiyatusy Syafiyah fil Intishar lil Firqatin Najiyah.

Demikian juga banyak penulis kitab-kitab firaq dan maqalat menyebutkan bahwa Ahlus Sunnah adalah Firqatun Najiyah, seperti Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farqu Bainal Firaq (hal.313), Abul Muzhaffar al-Isfirayini dalam kitabnya at-Tabshir fid Dien (hal.185), dan Syaikh Hafizh Hakami dalam kitabnya Ma’arijul Qabul (1/19)

3. Ath-Tha’ifah al-Manshurah (Kelompok yang mendapat pertolongan)

Nama ini diambil dari hadits Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam :

“Tidak henti-hentinya ada sekelompok dari umatku yang mendapat pertolongan (dari Alloh), tidak ada yang bisa membahayakan mereka siapa pun yang menelantarkan mereka hingga tegaknya kiamat.” (HR.Ahmad 5/34, Tirmidzi 4/485, Ibnu Majah 1/5, dan dishahihkan oleh al-albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 1/6), hadits ini muttafaq ‘alaih dengan lafazh : Ath-Tha’ifah al-Manshurah ini adalah Ahlus Sunnah, sebagaimana dinashkan oleh para imam seperti al-aimam Bukhari, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, dan al-Qadhi ‘Iyadh.(Lihat Syarah Nawawi atas Muslim 13/66-67 dan Fathul Bari 1/164)

4. Salafiyyun

Nama ini disandang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena ittiba’ mereka terhadap manhaj salafush shalih yaitu para sahabat, tabi’in, dan orang orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan petunjuk.

Fairuz Abadi berkata, “Salaf adalah orang-orang yang mendahuluimu dari nenek moyangmu dan kerabatmu.” (Qamus al-Muhith 3/153).

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam bersabda kepada Fatimah Radhiyallohu ’anhu di saat beliau sakit keras menjelang wafat :

“bertaqwalah kepada Alloh dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu adalah aku. (HR.Bukhari 5/2317, Muslim 4/1904)

Al-Qalsyani berkata, “Salafush shalih adalah generasi pertama yang mendalam keilmuan mereka, yang mengikuti jalan Nabi Shallallahu’alayhi wa salam, yang selalu menjaga Sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam. Alloh pilih mereka sebagai sahabat. Nabi-Nya dan Alloh tugaskan mereka untuk menegakkan agama-Nya….” (Tahrirul Maqalah min Syarhi Risalah hal. 36).

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata, “jika disebut salaf atau salafiyyun atau salafiyah, maka dia adalah nisbat kepada salafush shalih, yakni para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Bukan orang-orang yang cenderung kepada hawa nafsu dari generasi sesudah sahabat dan menyempal dari jalan para sahabat dengan nama atau symbol, mereka inilah yang disebut khalafi, nisbat kepada khalaf. Adapun orang-orang yang teguh diatas manhaj kenabian maka mereka menisbatkan diri kepada salafush shalih sehingga mereka disebut salaf dan salafiyun dan nisbat kepada mereka adalah salafi.” (Hukmul Intima’ hal.90).

Syaikh al-Albani berkata, “Adapun orang yang menisbatkan kepada salafush shalih maka dia telah menisbatkan diri kepada kema’shuman secara umum. Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam telah menyebut sebagian tanda dari Firqatun Najiyah bahwasanya mereka berpegang teguh dengan jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat. Barang siapa berpegang teguh dengannya maka dia telah berada diatas petunjuk dari Rabbnya dengan yakin… tidak diragukan lagi, penamaan yang jelas dan gamblang adalah dengan mengatakan : ‘saya seorang muslim yang mengikuti Kitab dan Sunnah dan manhaj salafush shalih’, yang dengan ringkas dia mengatakan : ’saya salafi’.” (Majalah al-Ashalah edisi 9 hal.87)

(Majalah AL-FURQON edisi 7 tahun V//shafar 1427//maret 2006, hal 28-32, dengan sedikit pengurangan).

http://fandikasbara.wordpress.com/2008/12/14/siapakah-ahlus-sunnah-wal-jamaah/

=================

AHLUS SUNNAH TIDAK MEMILIKI NAMA

AHLUS SUNNAH TIDAK MEMILIKI NAMA

Sesungguhnya Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam.

Imam Malik Rahimahullah berkata : “Ahlus Sunnah tidak memiliki julukan yang mereka dikenali dengannya, bukan Jahmi, bukan Qadari, dan bukan pula Rafidhi.” (al-Intiqa’ fi Fadha ili Tsalatsatil A’immah Fuqaha, Ibnu Abdil Barr, hal.35).

Para ulama salaf bersungguh-sungguh dalam melarang penama’an dan penisbatan selain Islam,

Ibnu Abbas Radhiyallohu’anhuma berkata : “Barang siapa mengakui dan mengikuti nama-nama yang dibuat-buat ini maka sungguh dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.” (Ibanah Shughra, Ibnu Baththah, Hal.137)

Malik bin Mighwal berkata : “jika seseorang menamakan diri dengan selain Islam dan Sunnah maka lekatkanlah dia dengan agama mana saja”. (Ibanah Shughra hal.137).

Imam Ibnul Qayyim berkata : “Di antara tanda-tanda ahli ubudiyah bahwasanya mereka tidak menisbatkan diri kepada suatu nama. Maksudnya, mereka tidak menisbatkan diri kepada suatu nama. Maksudnya, mereka tidak dikenal oleh manusia dengan nama-nama yang telah menjadi symbol-simbol bagi para ahli thariqah (sufi). Demikian juga, mereka tidak dikenal dengan suatu amalan yang nama mereka hanya dikenal dengan amalan tersebut, karena ini adalah penyakit ubudiyah, lantaran ubudiyah ini adalah ubudiyah yang terbatas. Adapaun ubudiyah yang mutlak maka pelakunya tidak dikenal dengan salah satu dari nama-nama ubudiyah, karena dia memenuhi setiap panggilan ubudiyah dengan berbagai macamnya. Dia memiliki bagian bersama setiap pemilik ubudiyah,maka dia tidak membatasi diri dengan symbol, isyarat, nama, kostum dan thariqah. Bahkan jika dia ditanya tentang nama mursyidnya, dia mengatakan : Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam jika ditanya tentang thariqahnya dia menjawab : Ittiba’… sebagian imam telah ditanya tentang sunnah maka dia menjawab,’ Yang tidak mempunyai nama lain kecuali Sunnah’, maksudnya bahwa Ahlus Sunnah tidak memiliki penisbatan nama selain Sunnah.” (Madarijus Salikin 3/174, 176).

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata : “Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berjalan dibawah minhajun nubuwwah tidak pernah lepas walau sedetik pun dari Sunnah, tidak dengan suatu nama dan tidak pula dengan suatu symbol. Mereka tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun kecuali kepada Rasulullah Shallallahu’alayhi wa salam dan orang yang mengikuti jejaknya. Mereka tidak memiliki symbol dan metode kecuali manhaj nubuwwah (yaitu kitab dan Sunnah), karena sesuatu yang asli tidak butuh tanda khusus untuk dikenali, yang butuh nama tertentu adalah yang keluar dari yang asli dari kelompok-kelompok yang menyempal dari yang asli (yaitu Jama’atul Muslimin).” (Hukmul Intima’ ilal Firaq wal Ahzab wal Jama’atil Islamiyah hal. 28 ).

=================

MAKNA AHLU SUNNAH

AHLU SUNNAH YANG SESUNGGUHNYA
.
Banyak firqoh, faham dan aliran dalam Islam. Dan masing-masing golongan mereka menyatakan dirinya atau kelompoknya sebagai Ahlus Sunnah. Sekalipun mereka adalah para pelaku bid’ah, tetap saja mereka mengakunya sebagai Ahlus Sunnah.
.
Lalu sebenarnya siapa yang di golongkan sebagai Ahlus Sunnah ?
.
Apakah mereka yang yang gemar melakukan kebid’ahan juga termasuk sebagai Ahlus Sunnah ?
.
Berikut keterangan para Ulama tentang Ahlus Sunnah.
.
– Imam Ibnu Hazm (384-456 H) berkata : ”Ahlus Sunnah yang kami sebutkan adalah ahlul haq, dan selain mereka adalah ahli bid’ah. Maka Ahlus Sunnah adalah para Sahabat dan setiap yang menempuh jalan mereka dari para Tabi’in, kemudian ashhabul hadits dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha, dari generasi-ke generasi hingga sa’at ini. Demikian juga, orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan awam di timur bumi dan baratnya, semoga Alloh merahmati mereka semuanya“. (Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Ni hal 2/271).
.
– Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa salam dan apa yang disepakati oleh As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”. (Majmu’ Fatawa: 3/375).
.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata : “Barangsiapa yang mengikuti Kitab, Sunnah, dan Ijma’, maka dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. (Majmu’ Fatawa 3/346).
.
Dari keterangan para Ulama di atas maka Ahlus Sunnah adalah :
.
– Ahlul haq. Dan selain mereka adalah ahli bid’ah.
.
– Para sahabat dan setiap yang menempuh jalan mereka dari para Tabi’in, kemudian Ashhabul Hadits dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha, dari generasi-ke generasi hingga sa’at ini. Juga orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan awam.
.
– Orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa salam dan apa yang disepakati oleh As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
.
– Orang-orang yang mengikuti Kitab, Sunnah, dan Ijma.
.
Itulah yang di maksud Ahlus Sunnah sebagaimana yang di terangkan para Ulama di atas.
.
Setelah kita mendapatkan keterangan dari para Ulama tentang siapa itu Ahlus Sunnah, maka mereka yang tidak berpegang teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, tapi mereka berpegang teguh kepada adat istiadat warisan nenek moyang, juga menyelisihi para Sahabat Nabi dalam beragama. Maka sesungguhnya mereka bukan Ahlus Sunnah tapi mereka adalah kebalikan dari Ahlus Sunnah yaitu ahlul bid’ah atau di sebut juga ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu). Walaupun mulut mereka mengakunya sebagai Ahlus Sunnah.
.
.
با رك الله فيكم
.
By : Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί
.
https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/
.
.
________________

IBARAT MENGGENGGAM BARA API

IBARAT MENGGENGGAM BARA API
.
Panas membakar ibarat menggenggam bara api, itulah gambaran kaum muslimin yang teguh memegang erat Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sa’at ini. Sikap buruk dan permusuhan orang-orang yang menyimpang dalam agama kepada Ahlus Sunnah tidak henti-hentinya siang dan malam tanpa mengenal lelah mereka lancarkan semenjak dahulu hingga sa’at ini.
.
Perumpama’an ibarat menggenggam bara api, itulah gambaran yang di sebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
.
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
.
”Akan datang suatu zaman kepada manusia dimana orang yang memegang agamanya ibarat orang yang menggenggam bara api.”(HR Tirmidzi 2140).
.
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama (Sunnah Rasulullah), ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara api.
.
Imam Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam sa’at ini, ia sampai tidak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya.
.
Sedangkan Al-Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
.
Ibarat menggenggam bara api, itulah perumpama’an orang-orang yang menjalankan agama Islam sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Digenggam panas membakar tangan, namun mustahil juga untuk di campakkan.
.
Di cerca, di fitnah, dikatakan sesat, di cibir, di pandang aneh, dikatakan bodoh, kaku, tekstual, extrim, tidak toleran dan banyak lagi kata-kata dan sikap buruk di alamatkan kepada orang-orang yang istiqomah kepada ajaran Islam yang sesungguhnya.
.
Kondisi yang tidak nyaman dan menyakitkan demikian, tidaklah seharusnya menjadikan lemah dan gundah, bukankah semenjak dahulu sampai sa’at ini para pengikut kebenaran selalu diperlakukan buruk oleh kebanyakan manusia di zamannya ?
.
Janganlah menjadikan Ahlus Sunnah goyah untuk tetap istiqomah beramal sesuai sunnah dan mengingkari kebatilan-kebatilan yang diusung para penjahat agama, pengekor hawa nafsu, para penjaga tradisi-tradisi warisan nenek moyang dan para penyesat umat lainnya.
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
وَلا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذينَ لا يُوقِنُونَ
.
”Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu”. (QS. Ar-Ruum: 60).
.
Semenjak dahulu hingga sa’at ini para pengikut kebenaran selalu mendapatkan gangguan dari orang-orang yang menentangnya.
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
وَ كَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمينَ وَ كَفى بِرَبِّكَ هادِياً وَ نَصيراً
.
“Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong”. (QS. Al-Furqan: 31).
.
Begitu pula yang dialami oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di awal munculnya dakwah islam, banyak diantara mereka yang disiksa dan dihinakan, bahkan nyawa mereka menjadi taruhan.
.
Begitu pula orang-orang sebelum umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengalami coba’an ketika mereka istiqomah di atas jalan yang benar, coba’an mereka begitu keras dan berat.
.
Hal ini pernah di sabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salah seorang Sahabatnya yang bernama Khabbab bin Al-Arat mengadu atas coba’an yang mereka alami sa’at itu. Khabbab bin Al-Arat berkata, Tidakkah engkau ya Rasulullah memintakan pertolongan untuk kami ?
.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh sebelum kalian ada orang yang digalikan lubang untuknya, lalu ia dimasukkan ke dalam lubang itu, lantas didatangkan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya, sehingga kepalanya terbelah menjadi dua, namun hal itu sama sekali tidak menghalanginya untuk mempertahankan agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sehingga daging dan uratnya terpisah dari tulangnya, namun semua siksa’an itu tidak memalingkannya dari agamanya . .” (Shahih Bukhari 3612).
.
Begitulah ujian yang dialami orang-orang terdahulu ketika mempertahankan keyakinannya.
.
Lalu tanyakan kepada diri kita, seberapa besar yang mereka alami dibanding kita ?
.
• Gangguan dan permusuhan adalah sebagai ujian
.
Jika kita menyeru kepada tauhid maka akan mendapatkan perlawanan dari para pelaku kesyirikan, jika kita mengajak kepada ajaran Islam sesuai sunnah maka akan dimusuhi para pelaku bid’ah. Gangguan dan permusuhan dari para pengekor hawa nafsu sesungguhnya adalah sebagai ujian sejauh mana kesungguhan, keteguhan dan kesabaran kita berdiri tegak di atas Sunnah Nabi.
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣)
.
”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi ?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al An-kabut: 2-3).
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
وَ لَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدينَ مِنْكُمْ وَ الصَّابِرينَ وَ نَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ
.
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu…” (QS. Muhammad: 31).
.
Waroqoh bin Naufal radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam, “Tiada seorangpun yang datang membawa seperti apa yang telah engkau bawa melainkan ia akan diuji.”
.
• Sabar menghadapi gangguan
.
Bersabar dari segala rintangan dan gangguan yang menghadang adalah sebagai senjata yang paling ampuh dan jalan keluarnya.
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
يا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلى ما أَصابَكَ إِنَّ ذلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
.
“Cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman: 17).
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
وَ بَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ
.
“. . Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 155).
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
إِنَّما يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسابٍ
.
”Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (QS. Az Zumar: 10).
.
Semoga kita tetap kuat dan bersabar menggenggam erat petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, walaupun terasa panas tangan kita ibarat menggenggam bara api akibat dari permusuhan orang-orang yang menyimpang dan sesat yang tidak henti-hentinya siang malam membuat makar.
.
.
با رك الله فيكم
.
By : Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί
.
https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/..
.
.
___________________

KETERASINGAN AHLU SUNNAH DI TENGAH-TENGAH MAYORITAS AHLI BID’AH

KETERASINGAN AHLU SUNNAH DI TENGAH-TENGAH MAYORITAS AHLI BID’AH

Hidup ditengah-tengah kebanyakan orang jahil dan ahli bid’ah memang tidak mudah. Ikut larut dengan mereka artinya menodai aqidah. menghindari tradisi dan acara-acara mereka akibatnya dikucilkan dan dicibir, jadi bahan gunjingan siang malam.

Tidak heran apabila ada sebagian orang yang sudah mengenal sunnah tapi masih ikut-ikutan acara-acara bid’ah. Alasannya karena tidak mau di kucilkan dilingkungannya. Memilih ridha manusia daripada ridha Allah, lebih khawatir dikucilkan dan dimusuhi manusia daripada dilaknat Allah.

Padahal telah berkata ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sabda Rasulullah,

مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسُخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ أَرْضَى عَنْهُ النَّاسِ وَ مَنِ الْتَمَسَ رِضَى النَّاسِ بِسُخْطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ.

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan kemurka’an manusia, maka Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia ridha kepadanya. Sedangkan orang yang mencari ridha manusia dengan kemurka’an Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia murka kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban, Mawaridh adh-Dham’an; 1542).

• Terasing ditengah-tengah manusia

Ketika kebanyakan manusia masih setia dengan tradisi-tradisi nenek moyangnya, terbiasa dengan acara-acara bid’ahnya. Yang semua itu mereka anggap sebagai ibadah. Lalu kemudian ada orang yang menyelisihinya tidak mengikuti mereka, jadilah terasing di tengah-tengah mereka.

Terasingnya ahlu sunnah sa’at ini, persis sebagaimana ketika terasingnya orang-orang yang menerima seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di awal-awal agama Islam disampaikan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَ ، فطُوبَى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keada’an asing, dan akan kembali asing seperti sa’at kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. (HR. Muslim).

– Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;

إِنَّ الإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قَالَ قِيلَ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ.

“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing. Seseorang bertanya : Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ? Mereka yang menyempal (berseberangan) dari kaumnya, jawab Rasulullah”. (HR. Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi).

– Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ «إِنَّ الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا وَيَرْجِعُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى

“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing. Seseorang bertanya : Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ?, Orang-orang yang selalu memperbaiki (melakukan ishlah) di saat manusia merusak sunnah-sunnah ku, jawab Rasulullah”. (HR. At Tirmidzi).

Al-Qari menafsirkan bahwa makna orang-orang yang asing adalah orang-orang yang memperbaiki [memulihkan] ajaran Nabi yang telah dirusak oleh manusia sesudahnya. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan melalui Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, demikian dinukilkan oleh al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi [6/427] as-Syamilah).

Al-Mubarakfuri menjelaskan makna ‘memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia’ yaitu : “Mereka mengamalkan ajaran / sunnah tersebut dan mereka menampakkannya sekuat kemampuan mereka.” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah).

Dikucilkan manusia memang menjadikan hidup tidak nyaman menyesakkan dada. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Maka beruntunglah orang-orang yang terasing”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira, Maka beruntunglah orang-orang yang terasing.

Kabar gembira dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut harus jadi motivasi untuk tetap teguh, tegar diatas sunnah tidak menjadi lemah menghadapi segala rintangan dan kecaman manusia. Tidak perlu futur apalagi mundur terlebih lagi sedikit demi sedikit kemudian kembali larut dengan acara-acara mereka.

• Jangan terpedaya dengan banyaknya jumlah manusia

Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Adabusy Syar’iyyah (I/263) : “Perlu diketahui, banyak perbuatan yang dilakukan oleh mayoritas manusia justru bertentangan dengan syariat. Lalu perbuatan itu menjadi populer di tengah-tengah mereka. Lalu banyak pula manusia yang mengikuti perbuatan mereka tersebut. Satu hal yang sudah jelas bagi seorang yang berilmu ialah menolak hal tersebut, baik diungkapkan lewat perkataan maupun perbuatan. Janganlah ia mundur karena merasa asing dan karena sedikitnya pendukung”.

Imam an Nawawi rahimahullah berkata : “Janganlah seorang manusia terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang melakukannya, yaitu orang-orang yang tidak mengindahkan adab-adab Islam. Ikutilah perkataan al Fadhl bin Iyadh, ia berkata : ˜Janganlah merasa asing dengan jalan hidayah karena sedikitnya orang yang melaluinya. Dan jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang sesat binasa”. (Ucapan ini dinukil oleh adz Dzahabi dalam kitab Tasyabbuhil Khasis, halaman 33).

Banyaknya jumlah manusia yang mengamalkan acara-acara atau amalan-amalan bid’ah, bagi ahlu sunnah tidak perlu silau dan menjadikan lemah sehingga kehilangan gairah untuk tetap tegar diatas sunnah.

Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah, Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. [Al Maidah : 100].

• Banyaknya jumlah manusia bukan patokan kebenaran

Banyaknya jumlah manusia pada kelompok tertentu jangan menjadikan tertipu dan terpesona.

Orang-orang jahiliah dahulu punya anggapan bahwa yang banyak itulah yang benar, adapun yang menyelisihinya yang jumlahnya sedikit maka itulah yang sesat.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata : “Di antara prinsip jahiliyyah, mereka percaya bahwa standar kebenaran adalah jika banyak yang menganutnya. Itulah yang jadi dalil pembenaran. Sedangkan kebatilan atau sesatnya sesuatu dilihat dari keterasingan dan pengikutnya yang sedikit. Ini lawan dari prinsip yang disebutkan di awal. Padahal prinsip semacam ini bertolak belakang dengan ajaran yang disebutkan dalam Al Quran.” (Syarh Masailil Jahiliyyah, hal. 38).

Bahkan Allah Ta’ala memperingatkan untuk tidak mengikuti kebanyakan manusia.

Allah Ta’ala berfirman :

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am: 116).

Banyaknya jumlah manusia bukan parameter sebuah kebenaran. Al-haq adalah yang berdiri diatas tuntunan Allah dan Rasulnya, bukan ditakar dengan jumlah manusia. Bahkan banyaknya jumlah manusia ternyata bukan pengikut kebenaran malah justru sebaliknya.

Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan, justru manusia kebanyakan tidak beriman, menentang para Rasul, tidak punya pengetahuan, kufur dan sesat.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. [Yusuf:103].

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 187)

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (QS. Al A’raf: 102).

Dari ayat-ayat diatas maka jelaslah ternyata kebanyakan manusia di dunia ini justru bukanlah pengikut kebenaran. Dan di banyak ayat kita dapati bahwa pengikut kebenaran ternyata jumlahnya sedikit.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا آَمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

“Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. ” (QS. Hud: 40).

Allah Ta’ala berfirman :

إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini”. [Shad : 24].

Allah Ta’ala berfirman :

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih” [Saba’: 13].

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan itu.

Dikucilkan dan terasing di tengah-tengah mayoritas ahli bid’ah, maka Ahlu Sunnah tidak perlu jadi kecil hati tapi justru harus bergembira karena mendapatkan kabar gembira dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Maka beruntunglah orang-orang yang terasing”.

بَارَكَ اللهُ فِيْكُم

Agus Santosa Somantri

https://agussantosa39.wordpress.com/category/1-bidah/%e2%80%a2-memahami-bidah/

=========================

MEMAHAMI ARTI JAMA’AH

MEMAHAMI ARTI JAMA’AH
.
Banyak firqoh dan aliran bermunculan dalam Islam. Masing-masing firqoh mengaku kelompok mereka yang paling benar. Selain itu masing-masing firqoh saling membagakan firqohnya. Kebangga’an setiap firqoh kepada kelompoknya masing-masing sudah di sebutkan Allah Ta’ala dalam Firmannya :
.
فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (53) فَذَرْهُمْ فِي غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حِينٍ (54)
.
Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu”. (QS. Al-Mu’minun: 53-54).
.
Akan terpecah belahnya umat Islam kepada banyak firqoh sudah di sebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
.
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
.
“Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al-Jama’ah”. (HR. Abu Daud 4597).
.
Dalam hadits di atas di sebutkan bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam banyak kelompok namun hanya satu golongan yang akan masuk surga, yaitu Al-Jama’ah.
.
Adapun arti Al-Jama’ah di jelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
.
ما أنا عليه وأصحابي
.
“Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku”.
.
Yang di maksud Al-Jama’ah menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnahnya para Sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Artinya umat Islam yang mengikuti tuntuntunan Rasulullah dan menapaki manhaj para Sahabat dalam beragama.
.
Keada’an Al-Jama’ah tidak berarti harus berupa sekumpulan orang dalam jumlah mayoritas dalam suatu wilayah. Tetap di sebut Al-Jama’ah walaupun keada’annya sedikit (minoritas) bahkan tetap di sebut Al-Jama’ah walaupun keada’annya sendirian. selama mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya maka tetap di sebut Al-Jama’ah.
.
– Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ’anhu berkata :
.
اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ
.
“Al-Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri”.
.
– Syihabuddin Abu Syamah (w 665H) berkata :
.
حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق وإتباعه وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف كثيرا
.
“Ketika dalam hadits terdapat perintah berpegang pada Al-Jama’ah, yang dimaksud dengan berpegang pada Al-Jama’ah adalah berpegang pada kebenaran dan menjadi pengikut kebenaran walaupun ketika itu hanya sedikit jumlahnya dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran banyak jumlahnya”. (Faidul Qadhir, 4/99).
.
– Imam Al-Baihaqi berkata :
.
إذا فسدت الجماعة فعليك بما كانوا عليه من قبل وإن كنت وحدك فإنك أنت الجماعة حينئذ
.
“Ketika Al-Jama’ah (kaum muslimin sa’at ini) telah bobrok maka hendaknya engkau berpegang pada pemahaman orang terdahulu (para Salaf) walaupun engkau sendirian, maka ketika itu engkaulah Al-Jama’ah”. (Faidul Qadhir, 4/99).
.
PENGERTIAN AL-JAMA’AH SECARA LEBIH LUAS
.
• Makna Al-Jama’ah menurut bahasa
.
Menurut bahasa, makna Al Jama’ah adalah :
.
الجماعة هي الاجتماع، وضدها الفرقة، وإن كان لفظ الجماعة قد صار اسما لنفس القوم المجتمعين
.
“Al-Jama’ah artinya perkumpulan, lawan dari kekelompokan. Walau terkadang Al-Jama’ah juga artinya sebuah kaum dimana orang-orang berkumpul”. (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 3/157).
.
• Makna Al-Jama’ah menurut syari’at
.
Adapun makna Al-Jama’ah yang di maksud oleh syar’iat adalah sebagaimana di terangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Sementara para Ulama menjabarkan banyak definisi dari Al-Jama’ah.
.
Berikut ini perkata’an para Ulama tentang Al-Jama’ah,
.
– Ibnu Hajar Al-Asqalani (w 852 H) menukil penjelasan Imam Ath Thabari (w 310 H) menjabarkan makna-makna dari Al-Jama’ah :
.
قَالَ الطَّبَرِيُّ اخْتُلِفَ فِي هَذَا الْأَمْرِ وَفِي الْجَمَاعَةِ فَقَالَ قَوْمٌ هُوَ لِلْوُجُوبِ وَالْجَمَاعَةُ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ ثُمَّ سَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَصَّى مَنْ سَأَلَهُ لَمَّا قُتِلَ عُثْمَانُ عَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَجْمَعَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ عَلَى ضَلَالَةٍ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِالْجَمَاعَةِ الصَّحَابَةُ دُونَ مَنْ بَعْدَهُمْ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِهِمْ أَهْلُ الْعِلْمِ لِأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلَى الْخَلْقِ وَالنَّاسُ تَبَعٌ لَهُمْ فِي أَمْرِ الدِّينِ قَالَ الطَّبَرِيُّ وَالصَّوَابُ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْخَبَرِ لُزُومُ الْجَمَاعَةِ الَّذِينَ فِي طَاعَةِ مَنِ اجْتَمَعُوا عَلَى تَأْمِيرِهِ فَمَنْ نَكَثَ بَيْعَتَهُ خَرَجَ عَنِ الْجَمَاعَةِ
.
“Ath-Thabari berkata, permasalahan ini (wajibnya berpegang pada Al-Jama’ah) dan makna Al-Jama’ah, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat hukumnya wajib. Dan makna Al Jama’ah adalah : As-Sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab : “Hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan“. Sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para sahabat, tidak termasuk orang setelah mereka. Sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para ulama. Karena Allah telah menjadikan mereka hujjah bagi para hamba. Para hamba meneladani mereka dalam perkara agama. Ath-Thabari lalu berkata, yang benar, makna Al Jama’ah dalam hadits-hadits perintah berpegang pada Al-Jama’ah adalah orang-orang yang berada dalam keta’atan, mereka berkumpul dalam kepemimpinan. Barangsiapa yang mengingkari baiat terhadap pemimpinnya (merasa tidak berkewajiban untuk menta’ati pemimpin sah kaum muslimin), maka ia telah keluar dari Al Jama’ah”. (Fathul Baari, 13/37).
.
– Imam Asy Syathibi (w 790 H) merinci makna-makna dari Al-Jama’ah :
.
اختلف الناس في معنى الجماعة المرادة في هذه الأحاديث على خمسة أقوال، أحدها: أنها السواد الأعظم من أهل الإسلام … فعلى هذا القول يدخل في الجماعة مجتهدو الأمة وعلماؤها، وأهل الشريعة العاملون بها، ومن سواهم داخل في حكمهم؛ لأنهم تابعون لهم مقتدون بهم. الثاني: أنها جماعة أئمة العلماء المجتهدين، فعلى هذا القول لا مدخل لمن ليس بعالم مجتهد؛ لأنه داخل في أهل التقليد فمن عمل منهم بما يخالفهم فهو صاحب الميتة الجاهلية، ولا يدخل أيضا أحد من المبتدعين.
الثالث: أن الجماعة هي الصحابة على الخصوص. فعلى هذا القول فلفظ (الجماعة) مطابق للرواية الأخرى في قوله صلى الله عليه وسلم: “ما أنا عليه وأصحابي”.
الرابع: أن الجماعة هي أهل الإسلام إذا أجمعوا على أمر، فواجب على غيرهم من أهل الملل اتباعهم ثم تعقب الشاطبي هذا القول بقوله: ”وهذا القول يرجع إلى الثاني، وهو يقتضي أيضا ما يقتضيه، أو يرجع إلى القول الأول، وهو الأظهر، وفيه من المعنى ما في الأول من أنه لا بد من كون المجتهدين منهم، وعند ذلك لا يكون مع اجتماعهم بدعة أصلا فهم إذن الفرقة الناجية”. الخامس: ما اختاره الطبري الإمام من أن الجماعة جماعة المسلمين إذا اجتمعوا على أمير، فأمر عليه الصلاة والسلام بلزومه ونهى عن فراق الأمة فيما اجتمعوا عليه من تقديمه عليهم.
.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai makna Al-Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat : As-sawadul a’zham dari umat Islam. Termasuk dalam makna ini para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah yang mengamalkan ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini karena di asumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”
Para imam mujtahid. Dalam makna ini, tidak termasuk orang-orang yang bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya adalah ahli taqlid. Maka barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat para imam mujtahid, lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam makna ini tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma). Para sahabat nabi saja. Makna ini sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu :
.
ما أنا عليه وأصحابي
.
“Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku”.
.
Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah perkara (baca: ijma’). Maka wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk mengikuti mereka. Asy Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya kembali pada makna kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti konsekuensi dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang lebih nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa terwujud umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah golongan yang selamat”. Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari, yaitu bahwa Al Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan ummat untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang memecah belah apa yang telah dipersatukan oleh umat sebelumnya.
Imam Asy Syathibi kemudian menyimpulkan :
.
قال الشاطبي: ”وحاصله أن الجماعة راجعة إلى الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة؛
.
“Kesimpulannya, Al-Jama’ah adalah bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Dan jelas bahwa persatuan yang tidak sesuai sunnah tidak disebut Al-Jama’ah yang disebut dalam hadits-hadits”. (Al I’tisham 2/260-265, dinukil dari Fatwa Lajnah Ad Daimah 76/276).
.

– Al Munawi (w 1031H) menukil perkata’an Syihabuddin Abu Syaamah (w 665H) dan Al Baihaqi (w 458 H) mengenai makna Al Jama’ah :
.
قال أبو شامة: حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق وإتباعه وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف كثيرا أي الحق هو ما كان عليه الصحابة الأول من الصحب ولا نظر لكثرة أهل الباطل بعدهم قال البيهقي: إذا فسدت الجماعة فعليك بما كانوا عليه من قبل وإن كنت وحدك فإنك أنت الجماعة حينئذ
.
“Abu Syamah berkata, ketika dalam hadits terdapat perintah berpegang pada Al Jama’ah, yang dimaksud dengan berpegang pada Al Jama’ah adalah berpegang pada kebenaran dan menjadi pengikut kebenaran walaupun ketika itu hanya sedikit jumlahnya dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran banyak jumlahnya. Maksud Abu Syaamah adalah bahwa kebenaran itu adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi, bukan melihat banyak jumlah, ini pada orang-orang yang datang setelah mereka. Al Baihaqi berkata, ketika Al Jama’ah (kaum muslimin sa’at ini) telah bobrok maka hendaknya engkau berpegang pada pemahaman orang terdahulu (para Salaf) walaupun engkau sendirian, maka ketika itu engkaulah Al-Jama’ah”. (Faidul Qadhir, 4/99).
.
Jika kita telah memahami penjelasan para ulama mengenai makna Al Jama’ah, walaupun definisi mereka berbeda, namun pokok maknanya sama. Bahwa yang dimaksud dengan Al Jama’ah adalah umat Islam yang berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi dan mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya.
.
Itulah makna Al-Jama’ah secara lebih luas yang di terangkan oleh para Ulama. Luasnya pengertian Al-Jama’ah yang di terangkan para Ulama berdasarkan dengan banyaknya hadits yang memuat istilah Jama’ah tersebut.
.
Berikut beberapa hadits tentang Al-Jama’ah,
.
– Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda :
.
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
.
“Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah”. (HR. Abu Daud 4597).
.
– Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
.
عليكم بالجماعة، وإياكم والفرقة، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد. من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة. ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن
.
“Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min”. (HR. Tirmidzi no. 2165).
.
– Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
.
ستكون بعدي هنات وهنات، فمن رأيتموه فارق الجماعة، أو يريد أن يفرق أمر أمة محمد كائنا من كان فاقتلوه؛ فإن يد الله مع الجماعة، و إن الشيطان مع من فارق الجماعة يركض
.
“Sepeninggalku akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah belah Al Jama’ah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah belah Al Jama’ah”. (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir 4672).
.
– Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
.
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات ، إلا مات ميتة جاهلية
.
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Al-Jama’ah sejengkal saja lalu mati, ia mati sebagai bangkai Jahiliah”. (HR. Bukhari no.7054,7143 dan Muslim no.1848,1849).
.
– Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
.
والذي لا إله غيره ! لا يحل دم رجل مسلم يشهد أن لا إله إلا الله ، وأني رسول الله ، إلا ثلاثة نفر : التارك الإسلام ، المفارق للجماعة أو الجماعة ( شك فيه أحمد ) . والثيب الزاني.والنفس بالنفس

“Demi Allah, darah seorang yang bersyahadat tidak lah halal kecuali karena tiga sebab: keluar dari Islam atau keluar dari Al Jama’ah, orang tua yang berzina dan membunuh” (HR. Muslim no.1676).
.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
.
من مات مفارقا للجماعة فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
.
“Barangsiapa yang mati dalam keada’an memisahkan diri dari Al-Jama’ah, maka ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya”. (HR Bukhari dalam Tarikh Al Kabir 1/325).
.
.
——————-

AL-GHUROBA’ (YANG TERASING)

AL-GHUROBA’ (YANG TERASING)
.
Pada masa awal Islam di serukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sa’at itu ajaran Islam di pandang oleh masyarakat jahiliyah sebagai ajaran yang asing bagi mereka. Sehingga banyak dari mereka yang menolak untuk masuk Islam. Bahkan mereka mencemo’oh ajaran Islam dan memusuhi orang-orang yang menerima seruan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
.
Ajaran Islam sa’at itu di anggap menyimpang bahkan di tuduh sesat oleh masyarakat jahiliyah yang sudah menganut kepercaya’an dan tradisi warisan dari nenek moyang mereka secara turun temurun.
.
Penolakan, cemo’ohan dan rasa permusuhan masyarakat jahiliyah terhadap Islam disebabkan karena rasa asing mereka terhadap ajaran Islam yang di sampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran Islam bukanlah ajaran baru. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membawa syari’at baru. Syari’at Islam untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’ala, berdo’a langsung kepada Allah tanpa harus melalui perantara berhala bukanlah ajaran baru, tapi ajaran yang di ajarkan para Nabi semenjak dahulu. Begitupula syari’at lainnya seperti shalat, puasa dan haji adalah syari’at yang sudah di syari’atkan para Nabi terdahulu.
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
.
“Katakanlah, Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. (QS Al-Ahqaf: 9).
.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Dan bukanlah perkara yang ku sampaikan ini merupakan perkara yang asing hingga berhak mendapat bantahan dari kalian”. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Ahqaf: 9).
.
Masyarakat jahiliyah sebenarnya pada masa dahulunya adalah penerus ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Namun kemudian tokoh-tokoh agama mereka merubah-merubah dan menambah-nambah ajaran agama mereka. Sehingga ajaran Nabi Ibrahim yang mereka anut menjadi menyimpang dari kebenaran. Yang pada akhirnya Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengembalikan keyakinan mereka kepada Tauhid (mengesakan Allah Ta’ala).
.
Namun seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kembali kepada ajaran yang benar mendapatkan penolakan dan permusuhan dari mereka. Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di anggap asing oleh mereka karena sudah jauhnya mereka dari ajaran yang benar.
.
Asingnya ajaran Islam pada masa itu, di sebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
.
بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَ، فطُوبَى للغرباءِ
.
“Islam muncul dalam keada’an asing, dan akan kembali asing seperti sa’at kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. (HR. Muslim).
.
Seorang Sahabat bertanya :
.
وَمَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟
.
“Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ?
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
.
النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ
.
“Mereka yang menyempal (berseberangan) dari kaumnya”. (HR. Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi).
.
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab :
.
الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى
.
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku, sesudah dirusak oleh manusia”. (HR. At Tirmidzi, dinyatakan Hasan Shahih oleh Imam At Tirmidzi)
.
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
.
أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
.
“Orang-orang shalih yang berada di antara orang-orang buruk yang jumlahnya banyak sekali. Yang menentang mereka lebih banyak dibandingkan yang mengikuti”. (HR. Ahmad, dinyatakan Hasan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).
.
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
.
الَّذِينَ يُصْلِحُونَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ
.
“Orang-orang yang selalu memperbaiki (amar ma’rur dan nahi munkar) di sa’at manusia dalam keada’an rusak”. (HR. Tabrani).
.
Itulah orang-orang asing yang di sebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
.
فطُوبَى للغرباءِ
.
“MAKA BERUNTUNGLAH ORANG-ORANG YANG ASING”.
.
Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan, bahwa Islam akan kembali asing seperti sa’at kemunculannya.
.
Maka sa’at ini kita bisa melihat dan merasakan, ajaran Islam yang benar, ajaran Islam yang murni dari Allah dan Rasul-Nya kembali di pandang asing oleh sebagian besar umat Islam. Asingnya ajaran Islam yang murni sa’at ini, sama dengan asingnya ketika di masa awal kemunculannya Islam di masa lalu. Permusuhan para pelaku bid’ah dan orang-orang yang menyimpang lainnya sa’at ini kepada umat Islam yang istiqomah di atas Sunnah pun tidak jauh berbeda dengan permusuhan masyarakat jahiliyah dahulu ketika awal datangnya Islam.
.
Menyimpangnya umat Islam sa’at ini dari ajaran Islam yang benar adalah fakta yang bisa kita saksikan. Bermunculan orang-orang yang mengaku nabi, dan begitu pula keyakinan menyimpang serta ajaran-ajaran bid’ah merebak sulit di bendung. Sehingga Islam pun terpecah kepada sekian banyak faham dan golongan. Dan hal ini memang sudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam sabdanya :
.
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
.
“Dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan”.
.
Umat Islam yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sa’at ini, keada’annya sama dengan umat Islam pada masa awal dahulu. Di perlakukan buruk, di cemo’oh serta di musuhi dan di anggap asing oleh orang-orang yang sudah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Namun demikian tidak perlu bersedih hati. Karena hal ini sudah di sebutkan dalam hadits di atas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
.
بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَِ
.
“ISLAM MUNCUL DALAM KEADA’AN ASING, DAN AKAN KEMBALI ASING SEPERTI SEMULA”.
.
Dan beruntung bagi mereka yang di pandang asing oleh orang-orang yang sudah menyimpang faham dan ajarannya. Sebagaimana di sabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
.
فطُوبَى للغرباءِ
.
“MAKA BERUNTUNGLAH ORANG-ORANG YANG ASING”. (HR. Muslim).
.
.
با رك الله فيكم
.
By : Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί
.
https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/
.
.
_______________