MEMAHAMI PEMBAGIAN BID’AH MENJADI LIMA

MEMAHAMI PEMBAGIAN BID’AH MENJADI LIMA OLEH AL-‘IZZ BIN ABDIS SALAM

Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah (lahir thn 577 H) bermazhab Syafi’i.

Dalam kitabnya Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, dia membahagi bid‘ah menjadi lima kategori :

1. Bid‘ah Wajibah
2. Bid‘ah Muharramah
3. Bid‘ah Mandubah
4. Bid‘ah Makruhah
5. Bid‘ah Mubahah

(‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam, Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, hal. 133).

Sebenarnya pembagian bid’ah menjadi lima yang di buat Al-‘Izz bin Abdis Salam tersebut, merujuk kepada ta’rif bid‘ah yang disebutnya pada awal kitab dia sendiri.

Kalau memperhatikan ta’rif (definisi) bid’ah yang Al-‘Izz bin Abdis Salam sebutkan, yaitu :

البدعة فعل ما لم يعهَدْ في عصر رسول الله

“Bid‘ah adalah perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasulullah”.

(Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, m.s. 133).

Maka, ta’rif (definisi) bid’ah yang Al-‘Izz bin Abdis Salam sebutkan tersebut, mencakup semua perkara bid’ah. Baik bid’ah dalam urusan duniawi (al-‘Aadah), maupun bid’ah dalam urusan ibadah (al-‘Ibaadah).

Sehingga, apabila ada orang yang mengatakan ada bid’ah hasanah dalam urusan Ibadah, berhujah dengan perkata’an Al-‘Izz bin Abdis Salam, tentu saja sangat keliru. Karena Al-‘Izz bin Abdis Salam tidak menta’rif bid’ah hanya dalam urusan Ibadah. Namun ta’rif bid’ah secara umum.

Dengan ta’rif (definisi) bid’ah yang Al-‘Izz bin Abdis Salam sebutkan yang mencakup segala perkara, secara umum. Maka pantas kalau Al-‘Izz bin Abdis Salam membagi bid’ah menjadi lima.

Adapun sebagian orang yang mengatakan ada bid’ah hasanah dalam urusan Ibadah dengan berhujah kepada perkat’an Al-‘Izz bin Abdis Salam, maka sangat tidak tepat.

Karena bid’ah dalam urusan Ibadah (bid’ah menurut syari’at), semuanya tercela tidak ada yang baik. Tidak ada bid’ah hasanah.

Perhatikan perkata’an Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah sebagai berikut, (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah seorang Ulama besar bermadzhab Syafi’i lahir pada thn 773 H. Dia amirul mukminin dalam bidang hadits. Banyak kitab yang dia tulis. Yang paling terkenal adalah, kitab Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari dan Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam. Tidak ada seorang muslim yang alim yang tidak mengenal dua kitab tersebut). Perkata’an Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani sangat patut di perhatikan.

Semua bid’ah dalam urusan ibadah tercela, tidak ada yang baik, tidak ada bid’ah hasanah. Dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai berikut,

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :

فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة

“MAKA BID’AH MENURUT SYARI’AT ADALAH TERCELA”. (Fathul Bari, 13: 253).

* Yang dimaksud bid’ah menurut syari’at adalah, “Membuat-buat perkara baru dalam urusan ibadah”. Maka menurut syari’at tercela.

Perkata’an Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani yang menyebutkan, bid’ah menurut syari’at tercela berdasarkan kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Hati-hatilah dengan perkara yang di ada-adakan (dalam urusan ibadah) karena setiap perkara yang di ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi, 2676).

Kita kembali kepada perkata’an Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam.

Dalam menyebutkan bid’ah yang wajib, Al-‘Izz bin Abdis Salam mencontohkan seperti ; Mempelajari Ilmu Nahu yang dengan ilmu tersebut dapat memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi. (Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, jld. 2, hal. 133).

Mempelajari Ilmu Nahu tentu saja bukan bid’ah menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat semuanya tercela.

Sebagaimana yang di katakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani di atas :

فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة

“Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela.” (Fathul Bari, 13: 253).

Apakah mungkin mempelajari Ilmu Nahu yang dengan ilmu tersebut kita jadi bisa memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi adalah tercela ?

Mempelajari Ilmu Nahu tentu saja bukan perkara yang tercela, bahkan suatu yang wajib bagi yang memiliki kemampuan, sebagaimana yang Al-‘Izz bin Abdis Salam sebutkan.

Maka yang di maksudkan mempelajari Ilmu Nahu sebagai bid’ah yang wajib oleh Al-‘Izz bin Abdis Salam adalah bid’ah menurut bahasa, bukan bid’ah menurut syari’at.

Perhatikan penjelasan dari Imam As-Syatibi rahimahullah sebagai berikut: “Barangsiapa yang mengatakannya bid’ah (mempelajari Ilmu Nahu), maka yang di maksud adalah bid’ah menurut “BAHASA” sebagaimana perkata’an Umar bin Khatab “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” ketika melihat orang-orang berkumpul (berjama’ah) untuk shalat ramadhan (tarawih)”. “Atas dasar kejahilan dalam membedakan antara sunnah dan bid’ah, maka pendapat yang mengatakannya bid’ah, tidak perlu di perhatikan”. (al-Syatibi, al-I’tishom, 27-28. [nukilan terpisah]).

* Imam Al-Syatibi seorang Ulama besar (wafat 790), adalah seorang Ulama ahlu sunnah, juga dikenal sebagai seorang pakar atau ahlinya dalam gramatika bahasa arab (nahwu).

Ada beberapa kitab nahwu sharf yang beliau tulis, ini menunjukkan Imam As-Syatibhi sebagai pakarnya Ilmu Nahu Sharaf. Dan kitab yang paling terkenal yang Imam As-Syatibhi tulis adalah, Al-I’tisham, kitab manhaj yang menerangkan tentang bid’ah dan seluk beluknya. Maka sangat layak kalau perkata’an Imam As-Syatibhi di atas kita perhatikan.

Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam, yang membagi bid’ah menjadi lima, adalah seorang Ulama Ahlu Sunnah. Namun demikian, walaupun dia seorang Ulama. Tetap saja bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak akan pernah salah.

Sehingga wajar kalau pembagian bid’ah menjadi lima di kritisi, di bantah oleh Ulama besar lainnya seperti oleh Imam As-Syathibi dan Imam As-Syaukani. Bahkan Imam As-Syatibhi menyebutnya, pembagian bid’ah menjadi lima oleh Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam sebagai pembagian yang di ada-adakan.

Kita perhatikan tanggapan dari Imam As-Syatibhi dan Imam As-Syaukani terhadap pembagian bid’ah menjadi lima yang di buat oleh Imam Al-Izz bin Abdis Salam berikut ini,

(1) Tanggapan dari Imam Asy-Syathibi.

Berkata Imam Asy-Syathibi : “Sesungguhnya pembagian tersebut adalah PEMBAGIAN YANG DI ADA-ADAKAN, tidak ada satupun dalil syar’i yang mendukungnya, BAHKAN PEMBAGIAN ITU SENDIRI SALING BERTOLAK BELAKANG, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil yang syar’i, tidak berupa dalil dari nas-nas syar’i, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-kaidahnya. SEBAB SEANDAINYA DISANA TERDAPAT DALIL SYAR’I TENTANG WAJIBNYA, ATAU SUNNAHNYA ATAU BOLEHNYA NISCAYA TIDAK MUNGKIN BID’AH ITU ADA, DAN NISCAYA AMALAN-AMALAN TERSEBUT MASUK KE DALAM AMALAN-AMALAN SECARA UMUM YANG DI PERINTAHKAN, ATAU YANG DI BERIKAN PILIHAN. Karena itu maka mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah, dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, maka semua itu merupakan pengumpulan antara dua hal yang saling menafikan”. (Al-I’tisham, 1/246).

(2) Tanggapan dari Imam As-Syaukani.

Dalam penjelasan Imam Asy-Syaukani mengenai hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang artinya : “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami yang bukan dari padanya, maka hal itu tertolak”. (muttafaq alaih).

Imam Asy-Syaukani mengatakan :

ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚُ ﻣِﻦْ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻳَﻨْﺪَﺭِﺝُ ﺗَﺤْﺘَﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺄَﺣْﻜَﺎﻡِ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﺤَﺼْﺮُ. ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺻْﺮَﺣَﻪُ ﻭَﺃَﺩَﻟَّﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺇﺑْﻄَﺎﻝِ ﻣَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻪُ ﺍﻟْﻔُﻘَﻬَﺎﺀُ ﻣِﻦْ ﺗَﻘْﺴِﻴﻢِ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ ﺇﻟَﻰ ﺃَﻗْﺴَﺎﻡٍ ﻭَﺗَﺨْﺼِﻴﺺِ ﺍﻟﺮَّﺩِّ ﺑِﺒَﻌْﻀِﻬَﺎ ﺑِﻠَﺎ ﻣُﺨَﺼِّﺺٍ ﻣِﻦْ ﻋَﻘْﻞٍ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﻘْﻞٍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻚ ﺇﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺖ ﻣَﻦْ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻫَﺬِﻩِ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﺑِﺎﻟْﻘِﻴَﺎﻡِ ﻓِﻲ ﻣَﻘَﺎﻡِ ﺍﻟْﻤَﻨْﻊِ ﻣُﺴْﻨِﺪًﺍ ﻟَﻪُ ﺑِﻬَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻜُﻠِّﻴَّﺔِ ﻭَﻣَﺎ ﻳُﺸَﺎﺑِﻬُﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﻧَﺤْﻮِ ﻗَﻮْﻟِﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : { ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٌ } ﻃَﺎﻟِﺒًﺎ ﻟِﺪَﻟِﻴﻞِ ﺗَﺨْﺼِﻴﺺِ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻭَﻗَﻊَ ﺍﻟﻨِّﺰَﺍﻉُ ﻓِﻲ ﺷَﺄْﻧِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟِﺎﺗِّﻔَﺎﻕِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ، ﻓَﺈِﻥْ ﺟَﺎﺀَﻙ ﺑِﻪِ ﻗَﺒِﻠْﺘﻪ، ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻉَ ﻛُﻨْﺖ ﻗَﺪْ ﺃَﻟْﻘَﻤْﺘﻪ ﺣَﺠَﺮًﺍ ﻭَﺍﺳْﺘَﺮَﺣْﺖ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻤُﺠَﺎﺩَﻟَﺔِ. ‏(ﻧﻴﻞ ﺍﻷﻭﻃﺎﺭ, ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺼﻼﺓ, ﺑﺎﺏ : ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﺛﻮﺏ ﺍﻟﺤﺮﻳﺮ ﻭﺍﻟﻤﻐﺼﻮﺏ ‏).

“Hadits ini merupakan salah satu pondasi agama, karena tak terhingga banyaknya hukum yang masuk ke dalamnya. ALANGKAH JELASNYA DALIL INI SEBAGAI PEMBATAL BAGI APA YANG DI LAKULAN SEBAGIAN FUQAHA KETIKA MEMBAGI BID’AH MENJADI MACAM-MACAM. Atau ketika mereka mengkhususkan jenis bid’ah tertentu yang tertolak, tanpa bersandar pada dalil baik secara logika maupun riwayat. KARENANYA, KETIKA MENDENGAR ADA ORANG MENGATAKAN : “INI BID’AH HASANAH”, WAJIB BAGI ANDA UNTUK MENOLAKNYA. Yaitu dengan bersandar pada keumuman hadits ini dan hadits-hadits senada seperti : “KULLU BID’ATIN DHOLALAH”. Anda harus menanyakan dalil mana yang mengkhususkan bid’ah-bid’ah lain yang masih diperdebatkan, setelah disepakati bahwa hal itu merupakan bid’ah ? Kalau ia bisa mendatangkan dalilnya, kita akan terima. Namun jika tidak mampu, maka anda telah membungkamnya seribu bahasa, dan tak perlu melanjutkan perdebatan”. (Nailul Authar, 1/66 cet. Daarul Fikr).

Ahli bid’ah bisa saja berkelit dan berkilah dengan mengatakan, Imam As-Syathibi dan Imam As-Syaukani bukan pengikut madzhab Syafi’i, jadi tidak boleh menanggapi, mengkritisi atau membantah pendapat dari Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam yang bermadzhab Syafi’i.

Jika ahli bid’ah berkilah seperti itu, maka kita minta kepada mereka, untuk menunjukkan keterangan dari Allah dan Rasul-Nya, juga perkata’an para Sahabat dan Imam madzhab yang melarang pengikut suatu madzhab menanggapi, mengkritisi atau membantah pengikut madzhab lain.

Bahkan dalam banyak riwayat, Ulama dari salah satu madzhab biasa menanggapi, mengkritisi atau membantah pendapat Ulama lainnya yang berlainan madzhab.

Kita juga mengetahui, Imam Syafi’i mengkritisi pendapat dari Asbagh bin Al-Farj bin Sa’di, seorang faqih dari kibar ulama yang bermadzhab Maliki. Juga Imam Syafi’i menanggapi dan membantah pendapat Imam Ahmad bin Hambal (madzhab Hambali) tentang kekufuran mereka yang meninggalkan shalat.

• AL-‘IZZ BIN ABDUS SALAM SEORANG ULAMA YANG SANGAT ANTI BID’AH

Ahli bid’ah sering menjadikan pembagian bid’ah menjadi lima yang disebutkan Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam sebagai dalil adanya bid’ah hasanah.

Padahal Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam adalah seorang Ulama yang sangat anti terhadap amalan-amalan bid’ah.

Apakah mungkin Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam membenarkan adanya bid’ah hasanah menurut syari’at, sementara Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam banyak sekali mengingkari bid’ah-bid’ah yang di lakukan sebagian umat Islam ?

Berikut bid’ah-bid’ah yang diingkari Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam ;

1. Berjabat tangan setelah shalat

Al-‘Izz bin Abdis Salam menjawab ketika ditanya hukumnya bersalaman setelah shalat.

Al-‘Izz bin Abdis Salam berkata : ”Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid’ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari’atkan tatkala datang”.

(Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-‘Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664).

2. Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a

Al-’lzz bin Abdus Salam berkata :

و لا يستحبّ رفع اليدين فى الدعاء إلا فى المواطن الّتى رفع فيها رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يديه

“Dan tidaklah disukai (disunnahkan) mengangkat kedua tangan ketika berdo’a, kecuali pada tempat-tempat yang padanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya”. (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam, hal. 47, no. 15, Cet. Daarulbaaz).

3. Mengusap wajah setelah berdo’a

Al-‘Izz bin Abdis Salam berkata :

و لا يمسح وجهه بيديه عقب الدعاء إلاّ جاهل

”Dan tidaklah mengusap wajah setelah do’a kecuai orang jahil”.

(Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-‘Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664).

4. Bersholawat ketika qunut.

Al-‘Izz bin Abdis Salam juga melarang bersholawat kepada Nabi ketika qunut.

Al-‘Izz bin Abdis Salam berkata : ”Dan tidak semestinya ditambah sedikitpun atau dikurangi atas apa yang dikerjakan Rasulullah tatkala qunut”.

(Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-‘Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664).

Ketika mengornentari perkata’an Imam Al-‘Izz bin Abdis Salaam di atas, Syaikh Al-Albany berkata : “Di dalam perkata’an beliau ini terdapat isyarat bahwasanya kita tidak memperluas istilah bid’ah hasanah, sebagaimana yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang sa’at ini. Saya katakan : “Dari apa yang telah dibahas, maka menjadi jelaslah bahawasanya yang dimaksudkan oleh Ai-’lzz bin Abdus Salam dalam pembagian beliau terhadap bid’ah adalah bid’ah secara bahasa, bukan merupakan pengertian bid’ah menurut agama.”

5. Mentalqin mayat

Al-‘Izz bin Abdis Salam berkata : ”Mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid’ah”. (Lihat Kitab fataawaa Al-‘Izz bin Abdis Salam, hal: 96).

6. Al-‘Izz bin Abdis Salam juga menyatakan, Bahwa mengirim baca’an qur’an kepada mayat tidaklah sampai”. (Lihat Kitab fataawaa Al-Izz bin Abdis Salam, hal: 96).

Dan banyak lagi bid’ah-bid’ah yang diingkari oleh Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam seperti : Menancapkan pedang di atas mimbar, shalat rogoib dan sholat nishfu sya’ban dan melarang kedua sholat tersebut”.

(Tobaqoot Asy-Syafi’iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-‘Iz bin Abdissalam).

Kesimpulannya :

Pembagian bid’ah menjadi lima yang di buat Al-‘Izz bin Abdis Salam bukan sebagaimana yang mereka ahli bid’ah fahami. Dan mereka yang menyebutkan adanya bid’ah hasanah dengan membawa-bawa Al-Izz bin Abdis Salam adalah keliru, karena Al-‘Izz bin Abdis Salam adalah seorang Ulama Ahlus Sunnah, dan Al-‘Izz bin Abdis Salam sangat anti terhadap praktek-praktek bid’ah di masanya.

برك الله فيكم

Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί

https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/

===============