Hadits “Kullu bid’atin dlolalah” disana ada sesuatu yang dikecualikan

Ada yang berkata,” Hadits “Kullu bid’atin dlolalah” disana ada sesuatu yang dikecualikan.                 Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak”. (HR Muslim).
Perhatikan kalimat “yang tidak bersumber darinya (agama)”. Inilah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Karena yang tertolak adalah yang mengadakan sesuatu yang baru yang tidak bersumber dari agama, adapun bila mengadakan sesuatu yang baru yang bersumber dari agama maka tidaklah tertolak.
Berdasarkan sabda Rosulullah saw diatas, maka hadits “kullu bid’atin dlolalah” dapat diartikan sebagai berikut : Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qur’an dan Assunnah.

Jawaban pertama:                                                                                                            sesungguhnya pemahaman seperti ini tidak pernah diucapkan oleh para shahabat, tidak pula tabi’in, tidak pula para ulama setelahnya, tidak pula imam yang empat. Ia hanyalah pemahaman sebagian orang di zaman ini yang keilmuannya tidak sampai kepada ilmu para ulama terdahulu.                                Dan telah kita bahas bahwa sesuatu yang bersumber dari agama tidak boleh disebut bid’ah secara istilah syari’at. Maka perkataannya “Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qur’an dan Assunnah” adalah batil, karena yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah tidak disebut bid’ah.

Kedua :                                                                                                                                       imam Bukhari no 2697 dan Abu Dawud no 3597 meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak ada padanya (agama), maka dia tertolak.”
Dalam hadits ini dengan lafadz ma laisa fiihi, sementara lafadz sebelumnya ma laisa minhu, dimana kata min disini ditafsirkan oleh kata fihi karena hadits itu saling menafsirkan. Dan kalimat ma laisa fiihi ini sangat sepadan dengan hadits “Kullu bid’atin dlolalah”.

Ketiga :                                                                                                                                        Secara I’rab bahasa arab, kalimat “Ma laisa minhu atau ma laisa fihi” berkedudukan sebagai na’at (sifat) untuk kalimat “man ahdatsa” artinya bahwa sifat muhdats adalah yang tidak bersumber dari agama atau tidak ada dalam agama, adapun bila bersumber dari agama maka tidak disebut muhdats. Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa muhdats ada dua macam : muhdats yang bersumber dari agama dan muhdats yang tidak bersumber dari agama.

Keempat :                                                                                                                          Pemahaman dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,” yang tidak bersumber darinya (agama)”. Untuk menetapkan adanya muhdats yang bersumber dari agama, adalah pendalilan secara mafhum (konteks), dan mafhum yang masih dugaan tersebut ternyata bertentangan dengan manthuq (teks) hadits ”Kullu bid’atin dlolalah (Semua bid’ah adalah sesat)”. Dalam kaidah ushul fiqih, bila mafhum bertabrakan dengan manthuq maka didahulukan manthuq.

Kelima: Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak ada diatasnya urusan (agama) kami, maka dia tertolak”.                                                                                                                        Perhatikan kalimat “Laisa ‘alaihi amruna” (Yang tidak ada diatasnya urusan agama kami), ia adalah na’at (sifat) untuk amal, dan amal disini berbentuk nakirah, sedangkan nakirah mempunyai makna umum, artinya semua amal yang tidak di atas dalil agama adalah tertolak, dan lafadz ini membantah adanya pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dlolalah. Inilah yang di fahami para ulama.

Berkata imam An Nawawi rahimahullah,” Hadits ini adalah kaidah yang agung dari kaidah-kaidah islam, ia termasuk jawami’ kalim Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tegas menolak semua bid’ah dan sesuatu yang diada-adakan. Dan dalam riwayat kedua (yaitu riwayat : man ‘amila amalan..) terdapat tambahan, yaitu terkadang sebagian pelaku bid’ah ngeyel melakukan bid’ah yang telah didahului sebelumnya, jika kita berhujjah kepadanya dengan riwayat pertama (yaitu riwayat : man ahdatsa fi amrina hadza..) ia berkata,” Aku tidak membuat sesuatu yang baru”. Maka kita berhujjah dengan riwayat yang kedua yang tegas menolak semua yang muhdats (yang diada-adakan).”