TANGGAPAN IMAM ASY-SYATIBI DAN IMAM ASY-SYAUKANI TERHADAP PEMBAGIAN BID’AH YANG DIBUAT AL-’IZ BIN ABDUS SALAM

TANGGAPAN IMAM ASY-SYATIBI DAN IMAM ASY-SYAUKANI TERHADAP PEMBAGIAN BID’AH YANG DIBUAT AL-’IZ BIN ABDUS SALAM

Al ‘Iz-bin Abdus Salam rahimahullah berkata : “Bid’ah itu terbagi kepada bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bid’ah tersebut harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah syari’at. Maka jika bid’ah tersebut masuk dalam kaidah yang wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bid’ah wajibah, apabila ia masuk pada kaidah yang haram, maka itulah bid’ah muharramah. Jika ia masuk dalam kaidah sunnah, maka itulah bid’ah mandubah (sunnah) dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bidah yang mubah”. [Qawaa’idul Ahkaam, 2/173].

Tanggapan :

1. Sesungguhnya kita tidak diperbolehkan untuk mempertentangkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkata’an siapapun.

• TANGGAPAN IMAM ASY-SYATIBI

Tanggapan Imam Asy-Syathibi terhadap pembagian bid’ah yang dibuat Al ‘Iz-bin Abdus Salam.

Berkata Imam Asy-Syathibi rahimahullah : “Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian yang di ada-adakan, tidak ada satupun dalil syar’i yang mendukungnya, bahkan pembagian itu sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil yang syar’i, tidak berupa dalil dari nas-nas syar’i, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-kaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syar’i tentang wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, niscaya tidak mungkin bid’ah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk dalam amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah, dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, maka semua itu merupakan pengumpulan antara dua hal yang saling menafikan”.[Al I’tisham, 1/246].

• TANGGAPAN IMAM ASY-SYAUKANI

Berikut jawaban Imam Asy Syaukani terhadap pembagian bid’ah menjadi lima.

Dalam penjelasan beliau mengenai hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang maknanya : “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami yang bukan dari padanya, maka hal itu tertolak” (muttafaq alaih), Imam Asy Syaukani mengatakan :

وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّينِ ؛ لِأَنَّهُ يَنْدَرِجُ تَحْتَهُ مِنْ الْأَحْكَامِ مَا لَا يَأْتِي عَلَيْهِ الْحَصْرُ . وَمَا أَصْرَحَهُ وَأَدَلَّهُ عَلَى إبْطَالِ مَا فَعَلَهُ الْفُقَهَاءُ مِنْ تَقْسِيمِ الْبِدَعِ إلَى أَقْسَامٍ وَتَخْصِيصِ الرَّدِّ بِبَعْضِهَا بِلَا مُخَصِّصٍ مِنْ عَقْلٍ وَلَا نَقْلٍ فَعَلَيْك إذَا سَمِعْت مَنْ يَقُولُ هَذِهِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ بِالْقِيَامِ فِي مَقَامِ الْمَنْعِ مُسْنِدًا لَهُ بِهَذِهِ الْكُلِّيَّةِ وَمَا يُشَابِهُهَا مِنْ نَحْوِ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ} طَالِبًا لِدَلِيلِ تَخْصِيصِ تِلْكَ الْبِدْعَةِ الَّتِي وَقَعَ النِّزَاعُ فِي شَأْنِهَا بَعْدَ الِاتِّفَاقِ عَلَى أَنَّهَا بِدْعَةٌ ، فَإِنْ جَاءَك بِهِ قَبِلْته ، وَإِنْ كَاعَ كُنْت قَدْ أَلْقَمْته حَجَرًا وَاسْتَرَحْت مِنْ الْمُجَادَلَةِ . (نيل الأوطار, كتاب الصلاة, باب: الصلاة في ثوب الحرير والمغصوب).

“Hadits ini merupakan salah satu pondasi agama, karena tak terhingga banyaknya hukum yang masuk ke dalamnya. ALANGKAH JELASNYA DALIL INI SEBAGAI PEMBATAL BAGI APA YANG DILAKUKAN SEBAGIAN FUQAHA’ KETIKA MEMBAGI BID’AH MENJADI MACAM-MACAM. Atau ketika mereka mengkhususkan jenis bid’ah tertentu yang tertolak, tanpa bersandar pada dalil baik secara logika maupun riwayat. KARENANYA, KETIKA MENDENGAR ADA ORANG MENGATAKAN, “INI BID’AH HASANAH”, WAJIB BAGI ANDA UNTUK MENOLAKNYA, YAITU DENGAN BERSANDAR PADA KEUMUMAN HADITS INI DAN HADITS-HADITS SENADA SEPERTI : “KULLU BID’ATIN DHOLAALAH”. Anda harus menanyakan dalil mana yang mengkhususkan bid’ah-bid’ah lain yang masih diperdebatkan, setelah disepakati bahwa hal itu merupakan bid’ah ? Kalau ia bisa mendatangkan dalilnya, kita akan terima. Namun jika tak mampu, maka anda telah membungkamnya seribu bahasa, dan tak perlu melanjutkan perdebatan” (Nailul Authar, 1/66 cet. Daarul Fikr).

================