MEMAKNAI LAFADZ KULLU SESUKA HATI

MEMAKNAI LAFADZ KULLU SESUKA HATI

Demi membela keyakinan adanya bid’ah hasanah, sepertinya ahli bid’ah tidak merasa takut, walaupun harus menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan makna yang sesungguhnya.

Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an bukan dengan metode yang benar yang di syaratkan oleh para Ulama, diantaranya yaitu merujuk kepada penafsiran para Ulama ahli tafsir.

Tapi mereka memaknai ayat-ayat Al-Qur’an mengikuti hawa nafsu.

Sungguh celaka menafsirkan Al-Qur’an dengan hawa nafsu. Padahal Rasulullah sudah memberikan ancaman yang sangat keras.

Sebagaimana sabdanya :

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار

“Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. [HR. Tirmidzi No.2874].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa mengatakan tentang al-Qur’an dengan akalnya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. [HR. Tirmidzi No.2875].

Lafadz kullu (كل) dalam hadts :

كل بدعة ضلالة

“Semua bid’ah sesat”

Mereka menolak lafadz “kullu” (كل) dalam hadits tersebut diartikan “SEMUA”.

Mereka maknai lafadz “kullu” (كل) dalam hadits tersebut dengan arti “SEBAGIAN”.

Kemudian mereka menunjukkan lafadz “kullu” (كل) yang terdapat di dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Kemudian mereka membuat penafsiran sendiri terhadap ayat-ayat tersebut dengan model penafsiran yang tidak kita temukan dalam kitab-kitab tafsir para Ulama.

Berikut ini beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang terkait dengan lafadz “kullu” (كل) yang mereka maknai sesuka hati.

1. Allah Ta’ala berfirman :

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍ

”Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. (Q.S Al-Anbiyya ayat 30).

Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menerangkan, bahwa air sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk yang hidup di muka bumi.

Artinya : Semua makhluk yang hidup di muka bumi bisa tumbuh dan bertahan hidup karena adanya air.
Itulah penafsiran yang benar.

Adapun ahli bid’ah, mereka menafsirkannya sebagai berikut :

Lafadz KULLA (كل) pada ayat ke 30 Surat Al-Anbiyya tersebut, maknanya “SEBAGIAN”. Sehingga ayat itu berarti : Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup. Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi : “Khalaqtanii min naarin”. Artinya : “Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api”.

http://aswajazone.blogspot.co.id/2012/04/makna-kullu-bidah-dholalah.html?m=1

Tanggapan :

Allah Ta’ala berfirman :

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ

”Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. (Q.S Al-Anbiyya: 30).

Ayat ke 30 Surat Al-Anbiya di atas menerangkan bahwa AIR MERUPAKAN SUMBER KEHIDUPAN BAGI SEMUA MAKHLUK YANG HIDUP DI MUKA BUMI.

AYAT TERSEBUT BUKAN SEDANG MENERANGKAN MENGENAI PENCIPTA’AN MANUSIA ATAU APAPUN.

Perhatikan penafsiran ayat tersebut dalam kitab tafsir jalalain,

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan : “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. Maksudnya air lah yang menjadi penyebab bagi seluruh kehidupan baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Namun mengapalah orang-orang kafir tiada juga beriman terhadap ke esa’an Allah ?”. [Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2008, hlm. 126-127].

Untuk mendapatkan penafsiran yang benar ayat ke 30 dari surat Al-Anbiyya tersebut, maka diantaranya harus melihat kepada ayat sebelumnya masih dalam ayat yang sama.

Perhatikanlah ayat sebelumnya !

Allah Ta’ala berfirman :

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا

”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”

Dengan melihat ayat sebelumnya, maka jelaslah bahwa ayat ke 30 surat Al-Anbiyaa tersebut sedang menerangkan tentang langit dan bumi yang dahulunya bersatu. Dan menerangkan bahwa air sebagai sumber kehidupan bagi makhluk yang ada di bumi.

Maka jelaslah makna air dalam ayat ke 30 dalam Surat Al-Anbiyaa tersebut adalah air yang sesungguhnya, bukan jenis air apapun.

Dan lafadz (كُلَّ) pada ayat tersebut, artinya SETIAP / SEMUA. Karena memang semua makhluk yang hidup di muka bumi kehidupannya bergantung kepada air.

Tidak ada satu pun makhkuk hidup di muka bumi yang tidak membutuhkan air.

Jadi sangat keliru apabila lafadz kullu (كل) pada ayat tersebut diartikan SEBAGIAN.

2. Ayat lainnya yang di salah tafsirkan ialah,

Allah Ta’ala berfirman :

ﺗُﺪَﻣِّﺮُ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤُﻮﺍ ﻟَﺎ ﻳُﺮَﻯ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺴَﺎﻛِﻨُﻬُﻢْ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻧَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻤُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ

“Angin yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”. (QS al-Ahqaf: 25).

Ahli bid’ah berkata :

Kata kullu (كل) belum tentu berarti “SEMUA”. sebagai contoh kata kullu dalam ayat ke 25 surat Al-Ahkaf. Angin topan pada ayat diatas tidak menghancurkan Nabi Hud dan orang-orang beriman. juga tidak menghancurkan langit dan bumi.

Tanggapan :

Kalimah “kullu” (كل) yang terdapat pada ayat ke 25 surat Al-Ahkaf tersebut, harus dimaknai “SEMUA”. Tidak bisa di maknai “SEBAGIAN”

Karena memang realitanya Allah Ta’ala menghancurkan “SEMUA” yang Allah perintahkan untuk di hancurkan, yaitu orang-orang yang durhaka dari kaum ‘Ad.

Perhatikan di penghujung ayat tersebut,

ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻧَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻤُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”.

Di penghujung ayat tersebut menerangkan tentang pembalasan Allah Ta’ala kepada kaum yang berdosa, yaitu kaum ‘Ad. Juga penghujung ayat tersebut sebagai penjelas bahwa yang Allah Ta’ala perintahkan untuk di hancurkan hanyalah orang-orang yang berdosa.

Adapun Nabi Hud ‘alaihis salam beserta orang-orang beriman, tentu saja tidak termasuk kepada orang-orang berdosa. Dan tidak Allah perintahkan untuk di hancurkan.

Jadi memang benar apabila lafadz kullu (كل) pada ayat tersebut dimaknai “SEMUA” karena kenyata’annya memang Allah Ta’ala menghancurkan semua kaum ‘Ad yang berdosa.

Adapun pengecualiannya,

ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺴَﺎﻛِﻨُﻬُﻢْ

“Kecuali tempat tinggal mereka (negri tempat mereka berada)”.

Yang tidak Allah Ta’ala hancurkan. Tidak bisa merubah makna kata kullu (كل) pada ayat tersebut. menjadi “SEBAGIAN”. Karena tempat tinggal mereka, sebagaimana halnya Nabi Hud ‘alaihis salam dan orang-orang beriman, bukan yang Allah Ta’ala perintahkan untuk di hancurkan.

Yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk dihancurkan. Yaitu kaum ‘Ad yang berdosa, Adapun Nabi Hud dan orang-orang beriman, begitu pula langit dan bumi tidak hancur, karena memang tidak Allah Ta’ala perintahkan untuk dihancurkan.

Perhatikan penjelasan Ibnu Jarir dalam tafsirnya :

اِنَّمَا عَنَى بِقَوْلِهِ : { تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِاَمْرِ رَبِّهَا } مِمَّا اُرْسِلَتْ بِهَلاَكِهِ لاَنَّهَا لَمْ تُدَمِّْ هُوْدًا وَمَنْ كَانَ آمَنَ بِهِ

“Sesungguhnya yang di maksudkan Allah Subhanahu wa ta’alla dengan firmanNya : Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya. Adalah bahwa angin menghancurkan segala sesuatu YANG DIKEHENDAKI oleh Allah Ta’alla untuk di hancurkan. Sebab angin tidak menghancurkan Nabi Hud alaihis salam dan orang-orang yang beriman kepadanya”. (Lihat: تفسير الطبرى (13/ 26-27)).

Penjelasan Ibnu Jarir dalam tafsirnya tersebut menerangkan, bahwa yang dimaksud angin yang menghancurkan segala sesuatu, maksudnya ialah YANG DI KEKENDAKI oleh Allah Ta’ala untuk di hancurkan. Dalam hal ini adalah kaum ‘Ad yang berdosa.

Penafsiran yang sama kita dapatkan dari Imam Al-Qurtubi rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas sebagai berikut :

اَيُّ كَلُّ شَيْءٍ مَرَّتْ عَلَيْهِ مِنْ رَجَالِ عَادٍ وَاَمْوَالِه

“Maksudnya, yang di hancurkan hanyalah segala sesuatu yang dilewati angin dari kaum ‘Ad dan harta mereka”. (الجامع لاحكام القرآن (16/206). Al-Qurtubi).

Dari keterangan para Ulama ahli tafsir diatas, maka jelaslah makna kata kullu (كل) yang benar pada ayat ke 25 surat Al-Ahkaf tersebut adalah “SEMUA” bukan “SEBAGIAN”.

3. Ayat lainnya yang di salah artikan,

Allah Ta’ala berfirman :

وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ

“Ratu Balqis itu telah diberikan semua (segala sesuatu)”. (Q.S An-Naml: 23).

Ahli bid’ah berkata :

Kata kullu (كل) tidak berarti semua, bisa kita perhatikan pada ayat di atas. Bagaimana bisa kata kullu (كل) diartikan semua, bukankah ratu Balqis tidak memiliki kebesaran sebagaimana kebesaran yang dimiliki Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ?

Bantahan :

Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang disajikan dengan gaya bahasa kinayah (kiasan).

Kata-kata kinayah bisa di fahami hanya oleh orang-orang yang mempelajari ilmu balaghah (sastra Arab).

Dalam ilmu balaghah kata “kullu” pada ayat tersebut termasuk kepada kalimat kinayah (kiasan). yang berarti menerangkan sesuatu dengan perkata’an lain.

Makna kata “kullu” (كل) yang artinya “SEGALANYA” dari ayat tersebut mengandung arti, “RATU BALQIS MEMILIKI KERAJA’AN YANG BESAR”.

Sebagaimana disebutkan pada kalimat selanjutnya, masih dalam ayat yang sama.

وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

“Serta mempunyai singgasana yang besar.(QS. An-Naml: 23).

Ratu Balqis itu telah diberikan SEMUA (segala sesuatu), kalau kita fahami dengan ilmu balaghah (sastra Arab) tentu kita bisa faham, bahwa tentu saja ratu Balqis bukan berarti memiliki segalanya yang ada di dunia ini. Termasuk yang dimiliki keraja’an Nabi Sulaiman.

Arti SEMUA (segalanya) yang di miliki ratu Balqis mengandung pengertian : “RATU BALQIS MEMILIKI KERAJA’AN YANG BESAR”.

Jadi kata “kullu” (كل) pada ayat ke 23 dalam Surat An-Naml tersebut artinya memang “SEMUA” sebagai kinayah (kiasan) dari “KERAJA’AN YANG BESAR”.

Sebagai perumpama’an : Apabila ada orang kaya, dia disebut memiliki segalanya. Kita tentu faham, arti SEGALANYA yang dimaksud adalah : ORANG TERSEBUT SANGAT KAYA. Sehingga dikatakan, MEMILIKI SEGALANYA.

Kesimpulannya : Yang di sebut ratu Balqis memiliki segalanya, makna sesungguhnya ratu Balqis memang memiliki SEGALANYA dalam artian ratu Balqis memiliki KERAJA’AN YANG BESAR.

Jadi memaknai kata “kullu” (كل) pada ayat tersebut dengan artian “SEGALANYA” adalah pengertian yang benar.

MEMAKNAI KATA KULLU DENGAN BENAR

Kata KULLU (كُلُّ) bisa bermakna SEBAGIAN juga bisa bermakna SETIAP / SEMUA.

Untuk bisa mengetahui kata KULLU (كُلُّ) apakah bermakna SEBAGIAN atau SEMUA, maka kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada, sehingga kita tidak salah memaknainya.

Adapun kata KULLU (كُلُّ) pada hadìst,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Maka kata KULLU pada hadìst terebut bermakna SETIAP atau SEMUA.

Jadi arti yang benar dari hadits tersebut adalah :

”SETIAP atau SEMUA bid’ah adalah sesat”

Memaknai kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas dengan arti SETIAP atau SEMUA, bukan berdasarkan hawa nafsu. Tapi berdasarkan beberapa qarinah yang menunjukkan kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas memang menunjukkan arti SETIAP atau SEMUA.

Berikut beberapa qarinah yang menunjukkan kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas yang menunjukkan makna SETIAP atau SEMUA.

• Qarinah dari perkata’an para Salafus Shaalih

– Ibnu Umar berkata :

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

”Seluruh bid’ah itu sesat sekalipun manusia memandangnya baik”. (Al Lalika’i 11/50).

– Imam Malik berkata :

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا ﷺ خان الرسالة

“Siapa yang membuat bid’ah dalam agama, dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik (hasanah), berarti dia telah menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah”. (Al I’tishom 1/64-65).

Dari perkata’an lbmu Umar dan Imam Malik diatas, kita mendapatkan keterangan bahwa semua bid’ah sesat. Tidak ada pengecualian.

Jadi kata kullu (كُلُّ) dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ mengandung arti SETIAP atau SEMUA.

• Qarinah dari sikap para Sahabat

Kata kullu dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ bermakna SETIAP atau SEMUA juga bisa kita perhatikan dari sikap para Sahabat yang mengingkari praktek-praktek bid’ah yang di lakukan sebagian orang sa’at itu.

Perhatikan beberapa riwayat berikut ini :

(1) Sa’id bin Musayyib (tabi’in), Ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua raka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata : “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat ? Beliau menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, II/466).

(2) Shahabat yang mulia Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, menceritakan, Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin kemudian dia berkata, “Alhamdulillah wassalaamu ‘alaa Rasuulillaah” (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah). Maka Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata : Aku juga mengatakan, “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah” (maksudnya juga bershalawat). Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.” (Diriwayatkan olehAt-Tirmidzi, no. 2738).

(3) Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad !, Begitu cepat kebinasa’an kalian !, Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad ? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah) ?”

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَه

Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).

Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa para Sahabat mengingkari praktek-praktek baru dalam urusan ibadah yang tidak ada tuntunannya (bid’ah).

Kalaulah bid’ah dalam urusan ibadah itu ada yang baik, tentu para Sahabat yang disebutkan dalam riwayat-riwayat diatas tidak akan menegur orang yang melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut.

Maka jelas kata kullu (كُلُّ) pada hadìst كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ terebut bermakna SETIAP atau SEMUA.

Menurut kaidah atau ketetapan ilmu usul jika sesuatu kalimah diulang berkali-kali di beberapa tempat sebagaimana diulang-ulangnya kalimah kullu (كُلُّ) dalam menetapkan bahawa “setiap (كل) bid’ah itu sesat”, maka apabila ia terdapat dalam dalil-dalil (al-Quran, al-Hadist dan atsar yang sahih) maka ia menjadi dalil syarii kulli (دليل شرعي كلي) yaitu : “Pasti setiap (كل) bid’ah itu sesat.”

• MENURUT SEORANG ULAMA PAKAR BAHASA ARAB

Menurut Imam Asy-Syatibhi seorang Ulama Shalaf dan pakar gramatika bahasa Arab (nahu-sharf).

Imam As-Sytibhi (wafat 790 H / 1388 M), adalah seorang Ulama ahlu sunnah, yang keilmuannya diakui oleh seluruh umat Islam di dunia.

Imam Asy Sytibhi juga dikenal sebagai seorang pakar atau ahlinya dalam gramatika bahasa arab (nahwu). Beliau menulis kitab-kitab tentang ilmu nahwu dan sharf, ini sebagai bukti bahwa Imam Asy Sytibhi ahlinya dalam ilmu tata bahasa arab nahwu dan sharf.

Kitab-kitab nahwu sharf yang beliau tulis adalah :

– Al-Maqashid al-Syafiyah fi Syarhi Khulashoh al-Kafiyah, kitab bahasa tentang Ilmu nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyah Ibnu Malik.

– Unwan al-Ittifaq fi ‘ilm al-isytiqaq, kitab bahasa tentang Ilmu sharf dan Fiqh Lughah.

– Ushul al-Nahw, kitab bahasa yang membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu sharf dan Ilmu nahwu.

Kitab karya Imam Asy Syatibhi terkenal lainnya adalah :

– Al-I’tisham, kitab manhaj yang menerangkan tentang bid’ah dan seluk beluknya.

Tentang lafadz ”KULLU” pada hadits ”Kullu bid’ati dholaalah” Imam Asy Syatibhi rahimahullaah berkata :

“PARA ULAMA MEMAKNAI HADITS DI ATAS SESUAI DENGAN KEUMUMANNYA, TIDAK BOLEH DIBUAT PENGECUALIAN SAMA SEKALI. OLEH KARENA ITU, TIDAK ADA DALAM HADITS TERSEBUT YANG MENUNJUKKAN ADA BID’AH YANG BAIK (HASANAH)”.

(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah).

Para pembela bid’ah hasanah yang memaknai lafadz ”Kullu” dengan membuat pengecualian ”ada bid’ah yang baik (hasanah)”, apakah lebih pintar dan lebih faham ilmu tata bahasa Arab nahwu sharf dibanding Imam Asy Syatibhi ?

Yang kredibilitasnya sebagai Ulama dikenal luas oleh umat Islam dan juga sebagai pakar / ahlinya tata bahasa Arab, nahwu sharf.

Perkata’an Imam Asy Syatibhi tentu patut diperhatikan.

با رك الله فيكم

Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί

https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/

___________________

MEMAKNAI KATA KULLU DENGAN BENAR

MEMAKNAI KATA KULLU DENGAN BENAR

Kata KULLU (كُلُّ) bisa bermakna SEBAGIAN juga bisa bermakna SETIAP / SEMUA.

Untuk bisa mengetahui kata KULLU (كُلُّ) apakah bermakna SEBAGIAN atau SEMUA, maka kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada, sehingga kita tidak salah memaknainya.

Adapun kata KULLU (كُلُّ) pada hadìst,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
ٌ
Maka kata KULLU pada hadìst terebut bermakna SETIAP atau SEMUA.

Jadi arti yang benar dari hadits tersebut adalah :

”SETIAP atau SEMUA bid’ah adalah sesat”

Memaknai kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas dengan arti SETIAP atau SEMUA, bukan berdasarkan hawa nafsu. Tapi berdasarkan beberapa qarinah yang menunjukkan kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas memang menunjukkan arti SETIAP atau SEMUA.

Berikut beberapa qarinah yang menunjukkan kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas yang menunjukkan makna SETIAP atau SEMUA.

• Qarinah dari perkata’an para Salafus Shaalih

– Ibnu Umar berkata :

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

”Seluruh bid’ah itu sesat sekalipun manusia memandangnya baik”. (Al Lalika’i 11/50).

– Imam Malik berkata :

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا ﷺ خان الرسالة

“Siapa yang membuat bid’ah dalam agama, dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik (hasanah), berarti dia telah menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah”. (Al I’tishom 1/64-65).

Dari perkata’an lbmu Umar dan Imam Malik diatas, kita mendapatkan keterangan bahwa semua bid’ah sesat. Tidak ada pengecualian.

Jadi kata kullu (كُلُّ) dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ mengandung arti SETIAP atau SEMUA.

• Qarinah dari sikap para Sahabat

Kata kullu dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ bermakna SETIAP atau SEMUA juga bisa kita perhatikan dari sikap para Sahabat yang mengingkari praktek-praktek bid’ah yang di lakukan sebagian orang sa’at itu.

Perhatikan beberapa riwayat berikut ini :

(1) Sa’id bin Musayyib (tabi’in), Ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua raka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata : “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat ? Beliau menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, II/466).

(2) Shahabat yang mulia Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, menceritakan, Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin kemudian dia berkata, “Alhamdulillah wassalaamu ‘alaa Rasuulillaah” (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah). Maka Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata : Aku juga mengatakan, “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah” (maksudnya juga bershalawat). Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.” (Diriwayatkan olehAt-Tirmidzi, no. 2738).

(3) Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad !, Begitu cepat kebinasa’an kalian !, Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad ? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah) ?”

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَه
ُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).

Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa para Sahabat mengingkari praktek-praktek baru dalam urusan ibadah yang tidak ada tuntunannya (bid’ah).

Kalaulah bid’ah dalam urusan ibadah itu ada yang baik, tentu para Sahabat yang disebutkan dalam riwayat-riwayat diatas tidak akan menegur orang yang melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut. Karena bid’ah dalam urusan ibadah tidak ada yang baik.

Maka jelas kata kullu (كُلُّ) pada hadìst كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ terebut bermakna SETIAP atau SEMUA.

Menurut kaidah atau ketetapan ilmu usul jika sesuatu kalimah diulang berkali-kali di beberapa tempat sebagaimana diulang-ulangnya kalimah kullu (كُلُّ) dalam menetapkan bahawa “setiap (كل) bid’ah itu sesat”, maka apabila ia terdapat dalam dalil-dalil (al-Quran, al-Hadist dan atsar yang sahih) maka ia menjadi dalil syarii kulli (دليل شرعي كلي) yaitu : “Pasti setiap (كل) bid’ah itu sesat.”

• Menurut Imam Asy-Syatibhi seorang Ulama Shalaf dan pakar gramatika bahasa Arab (nahu-sharf).

Imam As-Sytibhi (wafat 790 H / 1388 M), adalah seorang Ulama ahlu sunnah, yang keilmuannya diakui oleh seluruh umat Islam di dunia.

Imam Asy Sytibhi juga dikenal sebagai seorang pakar atau ahlinya dalam gramatika bahasa arab (nahwu). Beliau menulis kitab-kitab tentang ilmu nahwu dan sharf, ini sebagai bukti bahwa Imam Asy Sytibhi ahlinya dalam ilmu tata bahasa arab nahwu dan sharf.

Kitab-kitab nahwu sharf yang beliau tulis adalah :

– Al-Maqashid al-Syafiyah fi Syarhi Khulashoh al-Kafiyah, kitab bahasa tentang Ilmu nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyah Ibnu Malik.

– Unwan al-Ittifaq fi ‘ilm al-isytiqaq, kitab bahasa tentang Ilmu sharf dan Fiqh Lughah.

– Ushul al-Nahw, kitab bahasa yang membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu sharf dan Ilmu nahwu.

Kitab karya Imam Asy Syatibhi terkenal lainnya adalah :

– Al-I’tisham, kitab manhaj yang menerangkan tentang bid’ah dan seluk beluknya.

Tentang lafadz ”KULLU” pada hadits ”Kullu bid’ati dholaalah” Imam Asy Syatibhi rahimahullaah berkata :

“PARA ULAMA MEMAKNAI HADITS DI ATAS SESUAI DENGAN KEUMUMANNYA, TIDAK BOLEH DIBUAT PENGECUALIAN SAMA SEKALI. OLEH KARENA ITU, TIDAK ADA DALAM HADITS TERSEBUT YANG MENUNJUKKAN ADA BID’AH YANG BAIK (HASANAH)”.

(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah).

Para pembela bid’ah hasanah yang memaknai lafadz ”Kullu” dengan membuat pengecualian ”ada bid’ah yang baik (hasanah)”, apakah lebih pintar dan lebih faham ilmu tata bahasa Arab nahwu sharf dibanding Imam Asy Syatibhi ?

Yang kredibilitasnya sebagai Ulama dikenal luas oleh umat Islam dan juga sebagai pakar / ahlinya tata bahasa Arab, nahwu sharf.

Perkata’an Imam Asy Syatibhi tentu patut diperhatikan.

والله أعلمُ بالـصـواب

Agus Santosa Somantri

https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/

===================

BID’AH HASANAH MENURUT IMAM ASY-SYATIBHI

BID’AH HASANAH MENURUT IMAM ASY-SYATIBHI

Imam As-Sytibhi (wafat 790 H / 1388 M), adalah seorang Ulama ahlu sunnah, yang keilmuannya diakui oleh seluruh umat Islam di dunia.

Imam Asy Sytibhi juga dikenal sebagai seorang pakar atau ahlinya dalam gramatika bahasa arab (nahwu). Beliau menulis kitab-kitab tentang ilmu nahwu dan sharf, ini sebagai bukti bahwa Imam Asy Sytibhi ahlinya dalam ilmu tata bahasa arab nahwu dan sharf.

Kitab-kitab nahwu sharf yang beliau tulis adalah :

• Al-Maqashid al-Syafiyah fi Syarhi Khulashoh al-Kafiyah, kitab bahasa tentang Ilmu nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyah Ibnu Malik.

• Unwan al-Ittifaq fi ‘ilm al-isytiqaq, kitab bahasa tentang Ilmu sharf dan Fiqh Lughah.

• Ushul al-Nahw, kitab bahasa yang membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu sharf dan Ilmu nahwu.

Kitab karya Imam Asy Syatibhi terkenal lainnya adalah :

• Al-I’tisham, kitab manhaj yang menerangkan tentang bid’ah dan seluk beluknya.

Tentang lafadz ”KULLU” pada hadits:

كل بدعة ظلالة

”Semua bid’ah sesat”

Imam Asy Syatibhi rahimahullaah berkata :

مَحْمُوْلٌ عِنْدَ الْعَلَمَاء عَلَى عَمُوْمِهِ ، لاَيُسْتِثْنَى مِنْهُ شَيْءٌ اَلْبَتَّة وَلَيْسَ فِيْهَا مَا هُوَا حَسَنٌ اَصْلا
ً
“MENURUT PARA ULAMA, HADITS INI DITERAPKAN PADA KE UMUMANNYA TANPA ADA PENGECUALIAN APAPUN DARINYA. PADA BID’AH (di hadist ini) SAMA SEKALI TIDAK ADA YANG DISEBUT (BID’AH) YANG BAIK (HASANAH)”.

(Al-Fatawaa Hal, 180-18 Syatibhi Lihat: علم اصول البدع hlm. 91 Ali Hasan).

Para pembela bid’ah hasanah yang memaknai lafadz ”Kullu” dengan membuat pengecualian ”ada bid’ah yang baik (hasanah)”, apakah lebih pintar dan lebih faham ilmu tata bahasa Arab nahwu sharf dibanding Imam Asy Syatibhi ?

Yang kredibilitasnya sebagai Ulama dikenal luas oleh umat Islam dan juga sebagai pakar / ahlinya tata bahasa Arab, nahwu sharf. Perkata’an Imam Asy Syatibhi tentu patut diperhatikan.

والله اعلم بالصواب

Agus Santosa Somantri

https://agussantosa39.wordpress.com/category/04-bidah/02-memahami-bidah/

========================

MEMAHAMI LAFADZ “SANNA” DENGAN BENAR

MEMAHAMI LAFADZ “SANNA” DENGAN BENAR

Secara bahasa makna dari lafal “sanna” ( سَنَّ ) adalah memulai perbuatan lalu diikuti oleh orang lain, sebagaimana hal ini kita dapati di dalam kamus-kamus bahasa Arab

Al-Azhari rahimahullah (wafat tahun 370 H) dalam kitabnya Tadziib al-Lughoh berkata :

“Setiap orang yang memulai suatu perkara lalu dikerjakan setelahnya oleh orang-orang maka dikatakan dialah yang telah merintisnya” (Tahdziib al-Lughoh, karya al-Azhari, tahqiq Ahmad Abdul Halim, Ad-Daar Al-Mishriyah, 12/306).

Hal ini juga sebagaimana disampaikan oleh Az-Zabidi dalam kitabnya Taajul ‘Aruus min Jawahir al-Qoomuus, 35/234, Ibnul Manzhuur dalam kitabnya Lisaanul ‘Arob 13/220).

Oleh karena itu, lafal سَنَّ tidaklah berarti harus berkreasi amalan baru atau berbuat bid’ah yang tidak ada contoh sebelumnya.

Akan tetapi lafal سَنَّ bersifat umum yaitu setiap yang memulai suatu perbuatan lalu diikuti, baik perbuatan tersebut telah ada sebelumnya atau merupakan kreasinya sendiri.

Namun dengan melihat sebab kronologi hadits tersebut maka dipahami bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan سَنَّ adalah yang mendahului melakukan sunnah yang telah diajarkan dan dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bersedekah.

Karenanya al-Azhari berkata tentang hadits ini : “Dalam hadits, “Barang siapa yang “sanna” sunnah yang baik baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya, dan barang siapa yang “sanna” sunnah yang buruk …”, Maksud Nabi adalah barang siapa yang mengamalkannya untuk diikuti”. (Tahdziib al-Lughoh 12/298).

Jadi bukan maknanya menciptakan suatu amalan ! !

Dari sini makna “sanna sunnah hasanah” bisa dibawakan kepada dua makna,

1. Mendahului atau memulai menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diikuti oleh orang-orang lain. Bisa jadi sunnah tersebut bukanlah sunnah yang ditinggalkan atau dilupakan atau telah mati, akan tetapi dialah yang pertama kali mengingatkan orang-orang lain dalam mengerjakannya. Sebagaimana dalam kasus hadits Jarir bin Abdillah di atas, sunnah Nabi yang dikerjakan adalah sedekah. Tentunya sunnah ini bukanlah sunnah yang telah mati atau ditinggalkan para sahabat, akan tetapi pada waktu kasus datangnya orang-orang miskin maka sahabat anshori itulah yang pertama kali mengamalkannya sehingga diikuti oleh para sahabat yang lain.

Hal ini didukung dengan hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu, ia berkata :

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَحَثَّ عَلَيْهِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدِي كَذَا وَكَذَا، قَالَ فَمَا بَقِيَ فِي الْمَجْلِسِ رَجُلٌ إِلاَّ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنِ اسْتَنَّ خَيْرًا فَاسْتُنَّ بِهِ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أُجُوْرِ مَنِ اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ اسْتَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَاسْتُنَّ بِهِ فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِي اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

“Datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabipun memotivasi untuk bersedekah kepadanya. Maka ada seseorang yang berkata, “Saya bersedekah ini dan itu”. Maka tidak seorangpun yang ada di majelis kecuali bersedekah terhadap lelaki tersebut baik dengan sedikit maupun banyak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Barang siapa yang “istanna”/ merintisi kebaikan lalu diikuti maka baginya pahalanya secara sempurna dan juga pahala orang-orang yang mengikutinya serta tidak berkurang pahala mereka sama sekali. Dan barang siapa yang merintis sunnah yang buruk lalu diikuti maka baginya dosanya secara sempurna dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sama sekali” (HR Ibnu Maajah no 204).

2. Bisa jadi makna “sanna sunnatan hasanah” kita artikan dengan menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mati atau ditinggalkan. Hal ini jika kita merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani

مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِل بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيِئًا . وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً فَعَمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا

“Barang siapa yang menghidupkan sebuah sunnah dari sunnahku lalu dikerjakan atau diikuti oleh manusia maka baginya seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka (yang mengikutinya) sama sekali. Dan barang siapa yang melakukan bid’ah lalu diikuti maka baginya dosa orang-orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sama sekali” (HR Ibnu Maajah, 209).

Akan tetapi hadits ini masih diperselisihkan tentang keshahihannya.

Kedua makna di atas ini adalah makna yang tepat dan sesuai dengan keumuman hadits “Seluruh bid’ah sesat”, yang tidak sesat hanyalah sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berbeda halnya jika kita mengartikan makna “sanna sunnatan hasanah” dengan makna berbuat bid’ah hasanah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal ini tidaklah tepat karena menyelisihi dua hal

1. Bertentangan dengan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Seluruh bid’ah sesat”

2. Menyelisihi makna yang termaktub dalam kronologi hadits Jarir bin Abdillah, bahwa yang dimaksud dengan sunnah hasanah adalah bersedekah. Dan bersedekah bukanlah bid’ah.

KETIGA : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

“Barang siapa yang merintis sunnah hasanah (baik)” tidaklah mungkin dibawakan pada makna kreasi amal ibadah yang baru.

Karena tidak mungkin diketahui itu baik atau buruk kecuali dari sisi syari’at. Akal tidak punya peran dalam menilai ibadah hasil kreasi baik atau buruk.

Terlebih lagi saudara-saudara kita yang suka berkreasi membuat bid’ah hasanah mengaku bahwa mereka bermadzhab Asyaa’iroh. Padahal diantara madzhab Asyaa’iroh adalah mereka menolak at-Tahsiin wa at-Taqbiih al-‘Aqliyaini, mereka hanya menerima at-Tahsiin wa at-Taqbiih as-Syar’iyaini.

Maksudnya yaitu bahwasanya menurut jumhur Asyaa’iroh bahwasanya suatu perbuatan tidak mungkin diketahui baik atau buruknya, terpuji atau tercela hanya dengan sekedar akal. Akan tetapi kebaikan atau keburukan suatu perbuatan hanyalah diketahui melalui syari’at atau dalil yang datang.

Berikut ini nukilan dari beberapa ulama besar madzhab Asyaairoh tentang hal ini.

Al-Baaqillaani rahimahullah (wafat 403 H) berkata :

“…Akan tetapi akal tidak memandang sesuatu perkarapun baik pada dzatnya yang dikarenakan sifat dan sisi, dan tidak pula memandang baik sesuatupun yang menyeru untuk melakukan perkara tersebut. Akal juga tidak menilai buruk sesuatupun pada dzatnya, dan juga tidak menilai buruk sesuatupun yang menyeru kepada melakukan perkara tersebut. Ini semua merupakan kebatilan, tidak ada asalnya. Yang wajib adalah mensifati perbuatan mukallaf (hamba) bahwasanya ia baik atau buruk hanyalah dengan hukum Allah yang menilainya baik atau buruk” (At-Taqrib wa al-Irsyaad as-Soghiir, karya al-Baaqilaani, tahqiq : DR Abdul Hamid, Muassasah ar-Risaalah, cetakan kedua, 1/279).

Al-Baqillaani juga menjelaskan bahwasanya sholat, haji, dan puasa tidak mungkin diketahui kebaikannya kecuali dari sisi syari’at, adapun akal tidak mungkin secara independent untuk mengetahui kebaikan atau keburukan perbuatan atau amalan seorang hamba.

Bahkan menurut beliau, keadilan, kejujuran, membalas budi, semuanya diketahui kebaikannya dengan dalil syari’at, bukan dengan akal. Sebaliknya zina, minum khomr, homoseksual, semuanya diketahui keburukannya dengan dalil sam’i (Al-Qur’an atau Al-Hadits) dan tidak diketahui dengan sekedar akal. (Lihat At-Taqriib wa al-Irsyaad 1/278-279).

Lihat juga perkata’an al-Baqillani dalam kitab beliau yang lain seperti at-Tamhiid fi ar-Rod ‘ala al-Mulhidah al-Mu’atthilah wa ar-Rofidho wa al-Khowaarij wa al-Qodariyah hal 97 dan 107, dan juga kitab al-Inshoof fi maa yajibu I’tiqooduhu wa laa yajuuzu al-jahlu bihi, tahqiq Al-Kautsari, AL-Maktabah al-Azhariyah, cetakan kedua, hal 46-47).

Abu Hamid Al-Gozali rahimahullah berkata :

“Tidak bisa diketahui baiknya perbuatan-perbuatan (hamba) dan juga keburukannya dengan melalui akal. Akan tetapi hanya bisa diketahui dengan syari’at yang dinukil. Maka sesuatu yang baik di sisi kami adalah apa yang dianggap baik oleh syari’at dimana syari’at memotivasi untuk melakukannya. Dan yang buruk adalah apa yang dinilai buruk oleh syari’at dengan melarangnya dan mencelanya” (Al-Mankhuul min Ta’liqoqt al-Ushuul, Tahqiq : DR Muhammad Hasan, Daarul Fikr, cetakan kedua, hal 8)

Imamul Haromain Al-Juwaini rahimahullah berkata :

لا يدرك بمجرد العقل حسن ولا قبح على مذهب أهل الحق وكيف يتحقق درك الحسن والقبح قبل ورود الشرائع مع ما قدمناه من أنه لا معنى للحسن والقبح سوى ورود الشرائع بالذم والمدح

“Dan tidaklah diketahui kebaikan atau keburukan hanya dengan berdasar akal, (hal ini) menurut madzhab ahlul haq (asya’iroh-pen). Bagaimana bisa diketahui kebaikan dan keburukan sebelum datangnya syari’at ?. Tidak ada makna kebaikan dan keburukan selain datangnya syari’at dengan pencelaan atau pemujian” (At-Talkhiis fi ushuul al-Fiqh, tahqiq : Abdullah julim An-Nebali, Daarul Basyaair al-Islaamiyah, 1/157).

Jika kebaikan tidak mungkin diketahui dengan akal menurut mereka, maka lantas bagaimana mereka bisa menilai bahwa bid’ah hasanah adalah baik ??.

Jangankan perkara ibadah, bahkan perkara mu’amalah menurut asyaa’iroh tidak bisa diketahui baik dan buruknya dengan akal, harus dengan dalil. Maka bagaimana lagi dengan perkara-perkara ibadah yang merupakan hasil kreasi ??

KEEMPAT : Kalau memang makna

مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سنَّةً حَسَنَةً

adalah membuat kreasi ibadah baru yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan kita untuk sering berkreasi membuat ibadah baru (bid’ah hasanah). Semakin banyak berkreasi maka semakin bagus.

Jika perkaranya demikian lantas apa faedahnya anjuran Nabi tatkala terjadi perselisihan dengan barkata ;

“فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي”

“Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku”

“عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”

“Gigitlah sunnahku dengan geraham kalian”

Apa faedahnya perkata’an Nabi ini jika ternyata setiap orang boleh berkreasi membuat sunnahnya sendiri-sendiri ? ?

Diambil dari sebagian tulisan Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

___________________