MENYIKAPI PERBEDA’AN DIANTARA SESAMA AHLU SUNNAH

MENYIKAPI PERBEDA’AN DIANTARA SESAMA AHLU SUNNAH

Memahami Manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah khilaf, bukan asal menang-menangan, kuat-kuatan.

Orang-orang yang terbiasa menela’ah fiqih-fiqih klasik seperti kitab Bidayatul Mujtahid yg membahas Fiqih 4 madzhab atau membaca kitab Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Al Mughni dst, kita dapati banyak sekali perselisihan yg tajam di kalangan para ulama. Bahkan sampai pada tingkat satu sama lain menganggap pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat lainnya yg salah. Bahkan satu sama lain saling memaparkan dalil secara segnifikan guna menguatkan argumennya masing-masing.

Namun yang istimewa, terlepas dari tajamnya berbeda’an pendapat dikalangan para salaf, tidak ada dikalangan mereka saling melempar kata-kata kasar. Apalagi menggelari pihak yang berbeda pendapat dengan sebutan-sebutan buruk.

Tidak ditemui juga dihadapan mereka saling sesat menyesatkan, bid’ah membid’ahkan apalagi kafir mengkafirkan.

Sungguh indah dan teduh sikap toleransi yang di praktekkan oleh para Ulama Salaf.

Tidak hanya di praktekkan oleh Ulama terdahulu saja, sikap toleran bahkan dipraktekkan oleh ulama di masa kini.

Contoh paling nyata apa yang di praktekkan oleh syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al Bani rahimahumallah. Dua ulama mujaddid ini khilaf dalam banyak masalah ijtihadiyah.

Misalnya :

1- Syaikh Ibnu Baz memandang menutup wajah bagi wanita adalah wajib, namun syaikh Al bani mengatakan tidak wajib.

2- Syaikh Bin Baz mengatakan tatkala i’tidak bersedekap, namun Syaikh Al Bani mengingkarinya bahkan membid’ahkannya.

3- Syaikh Bin Baz membolehkan tarawih lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at, namun syaikh Al Bani tidak membolehkannya.

4- Para Ulama Saudi mengatakan kredit itu boleh, sedangkan Syaikh Al bani menganggap itu riba.

5- Bahkan dalam masalah darah, Syaikh Ibnu Baz berfatwa tatkala Iraq mengekspansi Kuwait dan akan menyerang Saudi, maka boleh meminta bantuan Amerika. Sementara Syaikh Al Bani tidak membolehkannya. Tentu ini khilaf yang bukan biasa karena menyangkut darah dan keamanan negeri Saudi.

Namun kita dapati, betapa kuat keakraban dan kelemah-lembutan mereka berdua.

Bahkan Syaikh Ibnu Baz tatkala ditanya siapa pembaharu abad ini, beliau menjawab, ‘Syaikh Al Albani’. Sebaliknya juga Syaikh Al Albani menganggap Syaikh Ibnu Baz sebagai pembaharu.

Sementara sa’at ini, coba lihat praktek kita yang katanya kita memproklamirkan diri mengikuti manhaj salaf.

1- Tidak mau bersahabat gara-gara khilaf antara di gerakan jari atau tidak tatkala tasyahud.

2- Memutuskan pertemanan gara-gara perbeda’an pendapat masalah foto kamera, video, ustadz masuk tv dst.

3- Bermusuhan karena masalah yayasan tertentu, dan menjadikannya sebagai tolak ukur al wala’ dan bara’.

4- Bertengkar gara-gara perbeda’an masalah coblos mencoblos saat pemilu.

Wallahul musta’aan….

Bukankah syaikh Ibnu Baz dan syaikh Al Albani khilaf dalam persoalan yang lebih besar dari hal-hal di atas ?! Yaitu masalah pertahanan negara dan darah kaum muslimin. Yaitu masalah boleh tidaknya Saudi minta bantuan Amerika untuk melawan iraq yang akan menyerang saudi. Toh mereka tetap akur, tidak saling menjatuhkan satu sama lain.

Intinya ikhwah, boleh kita menganggap pendapat kita (dlm masalah ijtihadiyah) lebih kuat dari pendapat saudara kita. Namun tidak perlu sampai pada derajat saling menjatuhkan kehormatan saudaranya, apalagi sampai bermusuhan.

Mencemo’oh, menyematkan gelar-gelar buruk kepada sesama Ahlu Sunnah, membuang muka, sinis, saling menyesatkan, saling membid’ahkan diantara sesama Ahlu Sunnah dan berbagai macam dampak negatif lain yang tidak seharusnya muncul dalam barisan Ahlu Sunnah.

Hadaanallaahu wa iyyaakum ajma’iin

==========