BARANGSIAPA MERINTIS PERKARA BARU (BID’AH)

BARANGSIAPA MERINTIS PERKARA BARU (BID’AH) . .

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوِْرِهمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

“Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (Riwayat Muslim).

Mereka menyimpulkan, dengan hadist ini dibolehkannya membuat suatu cara baru (bid’ah) dalam Islam, dan akan mendapatkan pahala.

Jawabannya :

Untuk menyimpulkan suatu hadist, maka diantaranya kita harus mengetahui sebab turun (asbabul wurud) atau kronologi dari hadist tersebut.

Adapun sebab turun dari hadist tadi yaitu, Di riwayatkan suatu ketika Rosululloh kedatangan suatu kaum dari Mudlor dengan kondisi yang memprihatinkan, mereka bertelanjang kaki. Maka Rosululloh memerintahkan kepada para sahabat yang ada untuk memberikan bantuan atau sodaqoh. Lalu datanglah seseorang dari kalangan anshor dengan membawa kantung yang tangannya hampir tidak bisa membawanya bahkan tidak mampu, kemudian orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan besar dari makanan dan pakaian, maka aku melihat wajah Rosulullah berseri-seri bagaikan perak bersepuh emas.

Lalu beliau bersabda ;

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوِْرِهمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

“Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”.

Apabila hadis ini dijadikan dalil untuk membenarkan adanya bid’ah hasanah, adalah sungguh leliru, karena hadist tadi tidak menunjukan adanya perintah Nabi untuk membuat-buat amalan baru.

Hadist tadi sebagai tanggapan baik atau apresiasi Rosululloh kepada seorang sahabat yang mendahului memberikan sodaqoh atau bantuan.

Dari kisah di atas juga jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi para sahabat untuk bersedekah. Lalu sahabat anshorlah yang pertama kali bersedekah, lalu diikuti oleh para sahabat yang lain.

Apakah sodaqoh atau bantuan seorang Sahabat dari ansor tersebut mau di katakan bid’ah (perkara baru) ?

Tentunya kita semua mengetahui, bahwa shodaqoh bukanlah perkara yang diada-adakan.

Dari riwayat itu juga nampak jelas, bahwa yang dimaksud dengan sunnah hasanah adalah sunnah yang valid dari Nabi, dalam kasus ini adalah sedekah yang dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam riwayat itu tidak menunjukkan ada seorang Sahabat yang membuat amalan baru atau suatu cara yang baru dalam Islam. Sodaqoh atau bantuan yang dilakukan Sahabat anshor bukan cara atau kreasi baru yang di buat seorang Sahabat.

Maka berdalil dengan hadits tersebut untuk menyatakan adanya bid’ah hasanah adalah cara pendalilan yang di cari-cari.

Mereka juga berkata ;

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan : “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyata’an Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegang teguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegang teguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya”

Bantahan ;

Yang dimaksud Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

“Barang siapa yang merintis sunnah hasanah (baik)”.

Adalah mendahului dalam mengamalkan sunnah yang telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan membuat atau merekayasa atau berkreasi dalam membuat suatu ibadah yang baru. Hal ini sangat jelas dari beberapa sisi ;

PERTAMA : Kronologi dari hadits tersebut menunjukkan akan hal itu.

Di riwayatkan dari Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Suatu ketika Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan suatu kaum dari Mudlor dengan kondisi yang memprihatinkan, mereka bertelanjang kaki. Maka Rosululloh memerintahkan kepada para sahabat yang ada untuk memberikan bantuan atau sodaqoh. Lalu datanglah seseorang dari kalangan anshor dengan membawa kantung yang tangannya hampir tidak bisa membawanya bahkan tidak mampu, kemudian orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan besar dari makanan dan pakaian, maka aku melihat wajah Rosulullah berseri-seri bagaikan perak bersepuh emas.

Lalu beliau bersabda ;

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوِْرِهمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

“Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. (HR Muslim).

Dari kisah di atas jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliaulah yang memotivasi para sahabat untuk bersedekah. Lalu sahabat anshor lah yang pertama kali bersedekah, lalu diikuti oleh para sahabat yang lain.

Lalu setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

“Barang siapa yang merintis sunnah hasanah (baik)”.

Dari kronologi ini jelas bahwa yang dimaksud dengan sunnah hasanah adalah sunnah yang valid dari Nabi, dalam kasus ini adalah sedekah yang dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

KEDUA : Secara bahasa bahwa makna dari lafal سَنَّ adalah memulai perbuatan lalu diikuti oleh orang lain, sebagaimana hal ini kita dapati di dalam kamus-kamus bahasa Arab

Al-Azhari rahimahullah (wafat tahun 370 H) dalam kitabnya Tadziib al-Lughoh berkata :

“Setiap orang yang memulai suatu perkara lalu dikerjakan setelahnya oleh orang-orang maka dikatakan dialah yang telah merintisnya” (Tahdziib al-Lughoh, karya al-Azhari, tahqiq Ahmad Abdul Halim, Ad-Daar Al-Mishriyah, 12/306).

Hal ini juga sebagaimana disampaikan oleh Az-Zabidi dalam kitabnya Taajul ‘Aruus min Jawahir al-Qoomuus, 35/234, Ibnul Manzhuur dalam kitabnya Lisaanul ‘Arob 13/220).

Oleh karenanya lafal سَنَّ tidaklah berarti harus berkreasi amalan baru atau berbuat bid’ah yang tidak ada contoh sebelumnya.

Akan tetapi lafal سَنَّ bersifat umum yaitu setiap yang memulai suatu perbuatan lalu diikuti, baik perbuatan tersebut telah ada sebelumnya atau merupakan kreasinya sendiri.

Namun dengan melihat sebab kronologi hadits tersebut maka dipahami bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan سَنَّ adalah yang mendahului melakukan sunnah yang telah diajarkan dan dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bersedekah.

Karenanya al-Azhari berkata tentang hadits ini : “Dalam hadits “Barang siapa yang “sanna” sunnah yang baik baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya, dan barang siapa yang “sanna” sunnah yang buruk …”, Maksud Nabi adalah barang siapa yang mengamalkannya untuk diikuti”. (Tahdziib al-Lughoh 12/298).

Jadi bukan maknanya menciptakan suatu amalan ! !

Dari sini makna “sanna sunnah hasanah” bisa dibawakan kepada dua makna,

1. Mendahului atau memulai menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diikuti oleh orang-orang lain. Bisa jadi sunnah tersebut bukanlah sunnah yang ditinggalkan atau dilupakan atau telah mati, akan tetapi dialah yang pertama kali mengingatkan orang-orang lain dalam mengerjakannya. Sebagaimana dalam kasus hadits Jarir bin Abdillah di atas, sunnah Nabi yang dikerjakan adalah sedekah. Tentunya sunnah ini bukanlah sunnah yang telah mati atau ditinggalkan para sahabat, akan tetapi pada waktu kasus datangnya orang-orang miskin maka sahabat anshori itulah yang pertama kali mengamalkannya sehingga diikuti oleh para sahabat yang lain.

Hal ini didukung dengan hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu, ia berkata :

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَحَثَّ عَلَيْهِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدِي كَذَا وَكَذَا، قَالَ فَمَا بَقِيَ فِي الْمَجْلِسِ رَجُلٌ إِلاَّ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنِ اسْتَنَّ خَيْرًا فَاسْتُنَّ بِهِ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أُجُوْرِ مَنِ اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ اسْتَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَاسْتُنَّ بِهِ فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِي اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

“Datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabipun memotivasi untuk bersedekah kepadanya. Maka ada seseorang yang berkata, “Saya bersedekah ini dan itu”. Maka tidak seorangpun yang ada di majelis kecuali bersedekah terhadap lelaki tersebut baik dengan sedikit maupun banyak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Barang siapa yang “istanna”/ merintisi kebaikan lalu diikuti maka baginya pahalanya secara sempurna dan juga pahala orang-orang yang mengikutinya serta tidak berkurang pahala mereka sama sekali. Dan barang siapa yang merintis sunnah yang buruk lalu diikuti maka baginya dosanya secara sempurna dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sama sekali” (HR Ibnu Maajah no 204).

2. Bisa jadi makna “sanna sunnatan hasanah” kita artikan dengan menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mati atau ditinggalkan. Hal ini jika kita merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani

مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِل بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيِئًا . وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً فَعَمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا

“Barang siapa yang menghidupkan sebuah sunnah dari sunnahku lalu dikerjakan atau diikuti oleh manusia maka baginya seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka (yang mengikutinya) sama sekali. Dan barang siapa yang melakukan bid’ah lalu diikuti maka baginya dosa orang-orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sama sekali” (HR Ibnu Maajah, 209).

Akan tetapi hadits ini masih diperselisihkan tentang keshahihannya.

Kedua makna di atas ini adalah makna yang tepat dan sesuai dengan keumuman hadits “Seluruh bid’ah sesat”, yang tidak sesat hanyalah sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berbeda halnya jika kita mengartikan makna “sanna sunnatan hasanah” dengan makna berbuat bid’ah hasanah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal ini tidaklah tepat karena menyelisihi dua hal

1. Bertentangan dengan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Seluruh bid’ah sesat”

2. Menyelisihi makna yang termaktub dalam kronologi hadits Jarir bin Abdillah, bahwa yang dimaksud dengan sunnah hasanah adalah bersedekah. Dan bersedekah bukanlah bid’ah.

KETIGA : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

“Barang siapa yang merintis sunnah hasanah (baik)” tidaklah mungkin dibawakan pada makna kreasi amal ibadah yang baru. Karena tidak mungkin diketahui itu baik atau buruk kecuali dari sisi syari’at. Akal tidak punya peran dalam menilai ibadah hasil kreasi baik atau buruk.

Terlebih lagi saudara-saudara kita yang suka berkreasi membuat bid’ah hasanah mengaku bahwa mereka bermadzhab Asyaa’iroh. Padahal diantara madzhab Asyaa’iroh adalah mereka menolak at-Tahsiin wa at-Taqbiih al-‘Aqliyaini, mereka hanya menerima at-Tahsiin wa at-Taqbiih as-Syar’iyaini.

Maksudnya yaitu bahwasanya menurut jumhur Asyaa’iroh bahwasanya suatu perbuatan tidak mungkin diketahui baik atau buruknya, terpuji atau tercela hanya dengan sekedar akal. Akan tetapi kebaikan atau keburukan suatu perbuatan hanyalah diketahui melalui syari’at atau dalil yang datang.

Berikut ini nukilan dari beberapa ulama besar madzhab Asyaairoh tentang hal ini.

Al-Baaqillaani rahimahullah (wafat 403 H) berkata :

“…Akan tetapi akal tidak memandang sesuatu perkarapun baik pada dzatnya yang dikarenakan sifat dan sisi, dan tidak pula memandang baik sesuatupun yang menyeru untuk melakukan perkara tersebut. Akal juga tidak menilai buruk sesuatupun pada dzatnya, dan juga tidak menilai buruk sesuatupun yang menyeru kepada melakukan perkara tersebut. Ini semua merupakan kebatilan, tidak ada asalnya. Yang wajib adalah mensifati perbuatan mukallaf (hamba) bahwasanya ia baik atau buruk hanyalah dengan hukum Allah yang menilainya baik atau buruk” (At-Taqrib wa al-Irsyaad as-Soghiir, karya al-Baaqilaani, tahqiq : DR Abdul Hamid, Muassasah ar-Risaalah, cetakan kedua, 1/279).

Al-Baqillaani juga menjelaskan bahwasanya sholat, haji, dan puasa tidak mungkin diketahui kebaikannya kecuali dari sisi syari’at, adapun akal tidak mungkin secara independent untuk mengetahui kebaikan atau keburukan perbuatan atau amalan seorang hamba.

Bahkan menurut beliau, keadilan, kejujuran, membalas budi, semuanya diketahui kebaikannya dengan dalil syari’at, bukan dengan akal. Sebaliknya zina, minum khomr, homoseksual, semuanya diketahui keburukannya dengan dalil sam’i (Al-Qur’an atau Al-Hadits) dan tidak diketahui dengan sekedar akal. (Lihat At-Taqriib wa al-Irsyaad 1/278-279).

Lihat juga perkata’an al-Baqillani dalam kitab beliau yang lain seperti at-Tamhiid fi ar-Rod ‘ala al-Mulhidah al-Mu’atthilah wa ar-Rofidho wa al-Khowaarij wa al-Qodariyah hal 97 dan 107, dan juga kitab al-Inshoof fi maa yajibu I’tiqooduhu wa laa yajuuzu al-jahlu bihi, tahqiq Al-Kautsari, AL-Maktabah al-Azhariyah, cetakan kedua, hal 46-47).

Abu Hamid Al-Gozali rahimahullah berkata :

“Tidak bisa diketahui baiknya perbuatan-perbuatan (hamba) dan juga keburukannya dengan melalui akal. Akan tetapi hanya bisa diketahui dengan syari’at yang dinukil. Maka sesuatu yang baik di sisi kami adalah apa yang dianggap baik oleh syari’at dimana syari’at memotivasi untuk melakukannya. Dan yang buruk adalah apa yang dinilai buruk oleh syari’at dengan melarangnya dan mencelanya” (Al-Mankhuul min Ta’liqoqt al-Ushuul, Tahqiq : DR Muhammad Hasan, Daarul Fikr, cetakan kedua, hal 8)

Imamul Haromain Al-Juwaini rahimahullah berkata :

لا يدرك بمجرد العقل حسن ولا قبح على مذهب أهل الحق وكيف يتحقق درك الحسن والقبح قبل ورود الشرائع مع ما قدمناه من أنه لا معنى للحسن والقبح سوى ورود الشرائع بالذم والمدح

“Dan tidaklah diketahui kebaikan atau keburukan hanya dengan berdasar akal, (hal ini) menurut madzhab ahlul haq (asya’iroh-pen). Bagaimana bisa diketahui kebaikan dan keburukan sebelum datangnya syari’at ?. Tidak ada makna kebaikan dan keburukan selain datangnya syari’at dengan pencelaan atau pemujian” (At-Talkhiis fi ushuul al-Fiqh, tahqiq : Abdullah julim An-Nebali, Daarul Basyaair al-Islaamiyah, 1/157).

Jika kebaikan tidak mungkin diketahui dengan akal menurut mereka, maka lantas bagaimana mereka bisa menilai bahwa bid’ah hasanah adalah baik ??.

Jangankan perkara ibadah, bahkan perkara mu’amalah menurut asyaa’iroh tidak bisa diketahui baik dan buruknya dengan akal, harus dengan dalil. Maka bagaimana lagi dengan perkara-perkara ibadah yang merupakan hasil kreasi ??

KEEMPAT : Kalau memang makna

مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سنَّةً حَسَنَةً

adalah membuat kreasi ibadah baru yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan kita untuk sering berkreasi membuat ibadah baru (bid’ah hasanah). Semakin banyak berkreasi maka semakin bagus.

Jika perkaranya demikian lantas apa faedahnya anjuran Nabi tatkala terjadi perselisihan dengan barkata ;

“فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي”

“Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku”

“عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”

“Gigitlah sunnahku dengan geraham kalian”

Apa faedahnya perkata’an Nabi ini jika ternyata setiap orang boleh berkreasi membuat sunnahnya sendiri-sendiri ? ?

Diambil dari sebagian tulisan Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja & Abu Hudzaefah.

___________________