PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG BID’AH

.
PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG BID’AH
.
Berikut perkataan para Ulama tentang bid’ah :
.
1. Bid’ah menurut syari’at tercela
.
Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah (lhr, 773 H/1372 M – wft, 852 H/1449 M) berkata : “Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela”. (Fathul Bari,13:253).
.
2. Semua bid’ah itu tertolak
.
Ibnu Hajar rahimahullah (lhr, 1372 M – wft, 1449 M) berkata : “Perkataan Rosululloh sollallohu ‘alaihi wasallam, setiap bid’ah itu adalah kesesatan, merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Adapun secara tersurat, maka seakan-akan beliau bersabda: “Hal ini bid’ah hukumnya dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak termasuk bagian dari agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan petunjuk. Oleh karena itu maka apabila telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua dasar hukum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama), sehingga kesimpulannya adalah tertolak”. (Fathul Baariy, 13/254).
.
3. Bid’ah itu tertolak, buruk dan sesat
.
Syaikh Hafizh bin Ahmad bin ‘Ali Hakami rahimahullah (wft, 1337 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak, tidak ada sedikitpun yang diterima, semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya, semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikit pun di dalamnya, semuanya adalah dosa tidak berpahala, semuanya batil tidak ada kebenaran didalamnya. Dan makna bid’ah ialah “Syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa jalla, serta tidak termasuk urusan (agama) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”. (Ma’arijul Qabul II/519-520).
.
4. Setiap bid’ah sesat merupakan pokok ajaran agama
.
Ibnu Rajab rahimahullah (lhr, 1335 M – wft, 1393 M) berkata : “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap bid’ah itu adalah kesesatan, merupakan jawami’ul kalim (satu kalimat yang ringkas namun mempunyai arti yang sangat luas) yang meliputi segala sesuatu, kalimat itu merupakan salah satu dari pokok-pokok ajaran agama yang agung”. (Jami’ul ‘ulum wal hikam, hal. 283).
.
5. Bid’ah identik dengan perpecahan
.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (lhr, 661 H/1263 M – wft, 728 H/1328 M) berkata : “Bid’ah itu identik dengan perpecahan, sebagaimana sunnah identik dengan persatuan”. (al-Istiqamah, I/42).
.
6. Bid’ah menyebabkan perpecahan
.
Imam asy-Syatibi rahimahullahu (wft, 790 H/1388 M) berkata : “Semua bukti dan dalil ini menunjukan bahwa munculnya perpecahan dan permusuhan adalah ketika munculnya kebid’ahan”. (Al- I’tisham, I/157).
.
7. Ketika bid’ah banyak diamalkan manusia
.
Imam asy-Syathibi rahimahullah (wft, 790 H/1388 M) berkata :
.
ولما كثرت البدع والمخالفات، وتواطَأَ النَّاسِ عَلَيْهَا؛ صَارَ الْجَاهِلُ يَقُولُ: لَوْ كَانَهَذَا مُنْكَرًا لَمَا فَعَلَهُ النَّاسُ
.
“Apabila bid’ah dan penyimpangan agama merebak dimana-mana, dan manusia beramai-ramai menjadikannya sebagai tradisi, maka orang-orang bodoh akan berkata : “Kalau saja amalan itu salah, tidaklah mungkin orang-orang mengamalkannya”. (Kitab Al I’tisham, 2/271).
.
8. Menganggap baik bid’ah, sama dengan menuduh Nabi mengkhianati Risalah
.
Imam Malik bin Anas rahimahullah (guru Imam asy-Syafi’i, wft, 179 H) berkata :
.
مَنِ ابْتَدَعَ فِى اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ، ِلأَنَّ اللهَ يَقُولُ: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ…) فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا، فَلاَ يَكُونُ الْيَوْمَ دِيْنًا
.
“Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu…”. (Qs. al-Maa-idah: 3). (Imam Malik rahimahullah selanjutnya berkata), “MAKA SESUATU YANG PADA HARI ITU BUKANLAH AJARAN AGAMA, MAKA HARI INI PUN SESUATU ITU BUKANLAH AJARAN AGAMA”. (Al-I’tisham (I/ 64-65) tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly cet. I, th. 1412 H, Daar Ibni Affan).
.
9. Bid’ah banyak bermunculan dan sunnah banyak yang hilang
.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah (lhr, 673 H – wft, 748 H) berkata :
.
والله – عم الفساد وظهرت البدع وخفيت السنن وقل القوال بالحق بل لو نطق العالم بصدق وإخلاص لعارضه عدة من علماء الوقت، ولمقتوه وجهلوه – فلا حول ولا قوة إلا بالله –
.
“Demi Allah telah begitu merata kerusakan, bid’ah telah bermunculan dan sunnah-sunnah telah tersembunyi. Sedikit orang yang menyuarakan kebenaran. Bahkan kalau ada seorang alim yang berucap dengan jujur dan ikhlas, niscaya ia akan ditentang oleh ulama sekarang ini. Niscaya mereka akan marah kepadanya dan menganggapnya bodoh. La hauwla wala quwwata illa billah”. (Siyar a’lam An-Nubala 14/166).
.
10. Perbuatan bid’ah lebih disenangi iblis daripada perbuatan maksiat
.
Imam Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wft. 161 H) berkata :
.
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
.
“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan. Dan pelaku kemaksiatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya”. (Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, no. 238, Musnad Ibnul Ja’ad, 1885. Majmu’ al-Fatawa, 11/472).
.
11. Apabila bid’ah dibenarkan, maka Islam akan rusak seperti agama-agama terdahulu
.
Dr. Yusuf Qardhawi (lhr, 1926 M – wft, 2022 M) dalam Kitabnya As Sunnah wal Bid’ah menjelaskan mengenai bahaya bid’ah diantaranya : “Pembuat dan pelaku bid’ah mengangkat dirinya sebagai pembuat syariat baru dan sekutu bagi Allah ta’ala. Bila bid’ah dapat dibenarkan dalam Islam maka bukan tidak mungkin bila kemudian Islam akan menjadi agama yang sama dengan agama-agama sebelumnya, yang ahli-ahli agamanya menambahkan hal-hal baru dalam agamanya dengan hawa nafsunya sehingga pada akhirnya agama tersebut berubah sama sekali dari yang aslinya. Dengan demikian, orang yang membuat bid’ah meletakkan dirinya seakan-akan sebagai pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah”.
.
.
___________